MENEMBUS TEMBOK FORMALISME RUPS: SAATNYA PENETAPAN KOMISARIS BUMN BISA DIUJI PTUN

0

Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap praktik rangkap jabatan, konflik kepentingan, dan intervensi politik di tubuh BUMN, mekanisme pengangkatan komisaris kembali menjadi bahan perdebatan hukum dan etik. Secara formal, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) disebut sebagai organ tertinggi perseroan yang berwenang menetapkan komisaris. Namun dalam praktiknya, Menteri BUMN memainkan peran yang sangat dominan dalam menentukan siapa yang duduk di kursi strategis tersebut. Ketimpangan antara mekanisme formal korporasi dan realitas pengambilan keputusan administratif menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah proses penetapan komisaris BUMN benar-benar murni urusan korporasi, atau justru ekspresi kewenangan publik yang seharusnya dapat diuji di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)?

u357-BUMN-3

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, RUPS adalah organ yang berwenang mengangkat dan memberhentikan dewan komisaris dalam perseroan terbatas, termasuk BUMN berbentuk persero (PT). Di sisi lain, Undang-Undang BUMN menempatkan Menteri BUMN sebagai wakil pemegang saham negara bertindak sebagai RUPS untuk persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara, atau sebagai pemegang saham mayoritas dalam forum RUPS apabila sahamnya tidak 100% sehingga secara struktur, keputusan pengisian organ perseroan diformat sebagai keputusan korporasi. Lebih lanjut, UU BUMN juga menetapkan bahwa pada Persero sedikitnya 51% sahamnya harus dimiliki oleh Negara, yang secara otomatis menempatkan negara sebagai pihak dominan dalam RUPS; akibatnya, rekomendasi Menteri BUMN mengenai pengangkatan komisaris pada praktiknya bersifat sangat menentukan, bahkan kerap dipersepsikan sebagai keputusan yang (hampir) absolut. Proses penentuan calon (penjaringan, fit and proper test, hingga pengusulan agenda RUPS) berlangsung dalam birokrasi Kementerian BUMN dan sangat memengaruhi hasil rapat; padahal, untuk persero terbuka, tata cara RUPS sendiri dikunci oleh OJK melalui POJK 32/2014 tentang rencana dan penyelenggaraan RUPS. Menurut OJK (2014), pengaturan detail RUPS bertujuan menjaga kepastian prosedural termasuk perlindungan pemegang saham minoritas, tetapi format ini sekaligus “mengunci” sengketa pada jalur perdata korporasi.

Mahkamah Konstitusi (2013/2014) menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan sebagai penyertaan modal negara pada BUMN tetap berada dalam rezim keuangan negara; karena itu, pengelolaan dan pertanggungjawabannya harus tunduk pada prinsip akuntabilitas publik. Penegasan ini tercermin dalam Putusan No. 48/PUU-XI/2013 dan No. 62/PUU-XI/2013. Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, Hadjon (2011) menempatkan PTUN sebagai instrumen judicial control atas penggunaan wewenang pemerintahan, sehingga fokus pengujian seyogianya pada substansi tindakan pejabat, bukan semata bentuk hukumnya. Melengkapi itu, Indroharto (1993/2005) membedakan tindakan pemerintah menurut hukum publik dan privat: suatu tindakan yang dibungkus perdata tetap dapat mengandung unsur tata usaha negara bila dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsi publik.

Di Indonesia, arah reformasi kian eksplisit setelah UU 1/2025 (Perubahan Ketiga UU BUMN) memperkenalkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara sebagai pengelola investasi negara dan mempertegas pemisahan fungsi politik–komersial di tingkat kebijakan. Menurut Pemerintah (2025), Danantara diatur pada level undang-undang dan diperkuat lewat peraturan turunan serta keputusan presiden mengenai organ pengawas dan pelaksana. Pada saat yang sama, Kementerian BUMN (2023) telah menertibkan pedoman tata kelola dan pengisian organ (termasuk syarat, tata cara pengangkatan/pemberhentian, dan reason-giving) sebagai pagar prosedural yang bisa dijadikan batu uji legalitas.

Jika mengikuti kerangka Hadjon (2011) dan Indroharto (1993/2005), maka sebagian tahapan pra-RUPS ketika Menteri BUMN bertindak sebagai pejabat administrasi (penetapan hasil fit and proper test, penetapan shortlist, atau keputusan internal final yang berdampak individual) patut dikualifikasi sebagai tindakan pemerintahan yang dapat diuji oleh PTUN, sementara keputusan RUPS tetap berada di ranah perdata korporasi sesuai UUPT dan POJK. Arah regulasi terbaru (mis. UU 1/2025 dan penguatan pedoman Kementerian BUMN) memberi ruang untuk merapikan batas publik–privat agar akuntabilitas publik berjalan tanpa mematikan efisiensi korporasi.

KERANGKA TEORETIK

Menurut Undang-Undang BUMN (2003), BUMN Persero didefinisikan sebagai perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham dan sedikitnya 51% dimiliki oleh Negara Republik Indonesia; konsekuensinya, negara berada pada posisi dominan dalam RUPS. Sementara itu, menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas (2007), RUPS adalah organ yang berwenang mengangkat serta memberhentikan dewan komisaris. Dua rujukan ini menunjukkan bahwa dari sisi hukum perusahaan, proses pengisian organ BUMN diperlakukan sebagai keputusan korporasi, meskipun secara substansi negara memegang kendali suara.

Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) ekonomi, BUMN kerap disebut entitas ‘berwajah ganda’: menjalankan fungsi komersial menurut hukum privat sekaligus memikul mandat publik. Indroharto (1994) membedakan tindakan pemerintah menurut hukum publik dan menurut hukum privat; perbuatan yang tampak privat tetap dapat dinilai dalam kerangka hukum administrasi bila dilakukan untuk menjalankan fungsi publik dan menimbulkan akibat hukum bagi warga atau badan hukum tertentu. Pembeda fungsi ini penting agar analisis tidak berhenti pada bentuk (privat/korporasi), melainkan menilai watak kewenangan yang dipakai.

Sejalan dengan itu, Philipus M. Hadjon (2011) menempatkan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai instrumen judicial control atas penggunaan wewenang pemerintahan terutama untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan berlakunya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pasca berlakunya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (2014), objek pengujian tidak lagi terbatas pada ‘keputusan’ semata, tetapi juga meliputi ‘tindakan’ pemerintahan; perluasan ini memperkuat pendekatan substansi (substance over form) bahwa kemasan privat tidak otomatis menyingkirkan kontrol administrasi ketika yang dipersoalkan adalah penggunaan kewenangan publik oleh pejabat.

Secara normatif, kerangka regulasi yang relevan dapat dipetakan sebagai berikut. Menurut Undang-Undang BUMN (2003), Menteri BUMN mewakili negara sebagai pemegang saham bahkan bertindak sebagai RUPS bila seluruh saham dimiliki negara sehingga jalur penetapan komisaris lazimnya diforumkan ke RUPS. Di sisi lain, menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas (2007), kewenangan mengangkat dan memberhentikan komisaris memang berada pada RUPS sebagai organ perseroan. Untuk menilai kemungkinan kontrol administrasi, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana diubah terakhir pada 2009) mendefinisikan Keputusan Tata Usaha Negara sebagai penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/pejabat pemerintahan yang bersifat konkret, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum. Sementara itu, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (2014) menegaskan ruang lingkup ‘tindakan pemerintahan’ sebagai objek pengujian, termasuk pengujian dugaan penyalahgunaan wewenang. Dari aspek prosedural, Mahkamah Agung (2021) melalui SEMA No. 5 Tahun 2021 menegaskan tenggat pengajuan gugatan TUN (antara lain 90 hari kerja sejak diketahui) berikut prasyarat upaya administratif ketika dipersyaratkan.

Dari perspektif konstitusional, Mahkamah Konstitusi (2013) dalam Putusan No. 48/PUU-XI/2013 dan No. 62/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan termasuk penyertaan modal negara pada BUMN tetap merupakan bagian dari rezim keuangan negara. Implikasi dari konstruksi ini ialah adanya tuntutan akuntabilitas publik yang melekat pada pengelolaan BUMN, termasuk pada tahap-tahap penetapan organ perseroan yang secara faktual diarahkan oleh pejabat pemerintahan. Dengan demikian, walaupun keputusan final pengangkatan komisaris diformalkan melalui RUPS menurut UU PT, dasar teoritik HAN memungkinkan penilaian yudisial atas tindakan pejabat pada tahap pra-RUPS apabila tindakan itu telah bersifat final terhadap subjek tertentu, menimbulkan akibat hukum konkret, dan merupakan ekspresi kewenangan publik.

Kerangka teoretik dan landasan hukum di atas memberi peta analitis untuk membedakan dua lintasan. Pertama, lintasan korporasi murni: keputusan RUPS sebagai produk organ perseroan tunduk pada hukum perdata korporasi. Kedua, lintasan administrasi: tindakan pejabat (misalnya penetapan hasil seleksi atau penyusunan daftar pendek yang bersifat final terhadap pihak tertentu) dapat dikualifikasi sebagai tindakan pemerintahan yang tunduk pada uji AUPB dan kontrol PTUN. Mengikuti Hadjon (2011) dan kerangka Indroharto (1994), pembeda utama bukan pada label forum keputusannya, melainkan pada karakter kewenangan yang dipakai serta akibat hukumnya bagi warga atau badan hukum; inilah yang menjadi dasar argumentasi ‘substance over form’ dalam pengisian jabatan komisaris BUMN.

DIAGNOSA “TEMBOK FORMALISME”

Secara de jure, posisi RUPS sebagai organ tertinggi perseroan ditegaskan oleh Undang‑Undang Perseroan Terbatas; menurut Undang‑Undang PT (2007), pengangkatan dan pemberhentian komisaris adalah kewenangan RUPS, dan setiap sengketa atas keputusan RUPS dibuka jalurnya melalui Pengadilan Negeri berdasarkan mekanisme pembatalan keputusan RUPS (lihat juga Pasal 61). Untuk perseroan terbuka, Otoritas Jasa Keuangan mengatur detail prosedur RUPS termasuk pemanggilan, kuorum, dan risalah agar kepastian prosedural dan perlindungan pemegang saham minoritas terjaga; menurut OJK (2014), kerangka ini menempatkan keputusan RUPS sebagai produk korporasi murni.

Namun secara de facto, proses seleksi calon, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), serta perumusan usulan agenda RUPS terjadi di ranah administratif pemerintahan. Menurut Kementerian BUMN (2023), pedoman pengisian organ BUMN mengatur tahap penjaringan, evaluasi integritas, dan rekomendasi yang menjadi dasar Menteri membawa nama ke RUPS; bahkan untuk BUMN strategis, praktik administrasi kerap melibatkan Tim Penilai Akhir (TPA) di tingkat Presiden, sehingga secara faktual Menteri BUMN memegang peran dominan dalam penentuan akhir nama calon.

Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, pembeda antara tindakan publik dan privat menjadi kunci membaca ‘tembok formalisme’. Indroharto (1994) membedakan perbuatan pemerintah menurut hukum publik dan menurut hukum privat; suatu tindakan yang dikemas sebagai perbuatan perdata tetap dapat memunculkan kontrol administrasi jika dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsi publik. Sejalan dengan itu, Hadjon (2011) menempatkan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai instrumen judicial control atas penggunaan wewenang pemerintahan untuk menegakkan Asas‑Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sehingga fokus pengujian sebaiknya pada substansi wewenang yang dipakai (substance over form), bukan semata pada bungkus korporasinya.

Tahap pra‑RUPS layak dipilah dari keputusan RUPS itu sendiri. Menurut Undang‑Undang PTUN (UU 5/1986 jo. UU 51/2009), Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis pejabat pemerintahan yang bersifat final, khas (konkret), dan individual, serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum. Lebih jauh, menurut Undang‑Undang Administrasi Pemerintahan (2014), objek kontrol tidak hanya ‘keputusan’ tetapi juga ‘tindakan’ pemerintahan, termasuk pengujian dugaan penyalahgunaan wewenang. Dari sisi tenggat, Mahkamah Agung (2021) melalui SEMA No. 5 Tahun 2021 menegaskan jangka waktu pengajuan gugatan TUN antara lain 90 hari kerja sejak diketahui serta pentingnya menempuh upaya administratif bila dipersyaratkan. Artinya, apabila pada tahap pra‑RUPS telah terbit tindakan/penetapan yang final terhadap subjek tertentu (misalnya penetapan hasil seleksi yang berdampak langsung pada status calon atau petahana), maka unsur final–khas–individual berpotensi terpenuhi.

Diagnosis ‘tembok formalisme’ berangkat dari kontras berikut. De jure, menurut Undang‑Undang PT (2007) dan OJK (2014), keputusan pengangkatan komisaris adalah keputusan organ perseroan (RUPS) sehingga jalur sengketanya berada pada Pengadilan Negeri sebagai perkara perdata korporasi. De facto, menurut Kementerian BUMN (2023), rangkaian seleksi dan rekomendasi administratif di internal pemerintah termasuk FPT dan, pada kasus tertentu, keterlibatan TPA mengarahkan hasil RUPS sehingga peran Menteri BUMN menjadi determinan. Ketegangan antara bentuk (korporasi) dan substansi (kewenangan publik) inilah yang mendasari usulan pembacaan ulang objek gugat pada tahap pra‑RUPS.

Pemetaan objek gugat karenanya bisa ditata dua lajur. Pada BUMN berbentuk Persero (PT), menurut Undang‑Undang PT (2007), keputusan RUPS digugat di Pengadilan Negeri melalui mekanisme pembatalan keputusan RUPS; ini adalah lintasan korporasi murni. Namun, tindakan pra‑RUPS yang sudah final terhadap pihak tertentu dan menimbulkan akibat hukum konkret misalnya penetapan hasil uji kelayakan yang sekaligus memberhentikan atau menggugurkan calon dapat diajukan argumentasi untuk diuji di PTUN berdasarkan Undang‑Undang PTUN (2009) dan Undang‑Undang Administrasi Pemerintahan (2014); posisi ini masih debatabel dan memerlukan penilaian kasuistis atas unsur final–khas–individual. Adapun pada BUMN berbentuk Perum, menurut Undang‑Undang BUMN (2003), penetapan anggota dewan pengawas/direksi dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri; oleh karena itu objeknya adalah KTUN yang berada dalam yurisdiksi PTUN.

Dari sisi konstitusional, Mahkamah Konstitusi (2013) menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tetap termasuk rezim keuangan negara (Putusan No. 48/PUU‑XI/2013 dan No. 62/PUU‑XI/2013). Implikasi langsungnya ialah akuntabilitas publik tidak boleh terhenti pada kemasan formil keputusan RUPS; pengujian administrasi atas tindakan pejabat pada fase pra‑RUPS merupakan mekanisme korektif yang konsisten dengan mandat akuntabilitas keuangan negara. Dengan peta ini, ‘tembok formalisme’ dapat ditembus tanpa menegasikan rezim korporasi: keputusan RUPS tetap ke Pengadilan Negeri, sementara tindakan pejabat yang memenuhi kriteria KTUN pergi ke PTUN sebuah pembagian kerja yudisial yang menjaga kepastian hukum sekaligus akuntabilitas publik.

STUDI KASUS / ILUSTRASI

Pada jalur Persero (PT), menurut Undang‑Undang PT (2007), RUPS merupakan organ yang berwenang mengangkat dan memberhentikan komisaris; apabila keputusan RUPS dinilai merugikan pemegang saham secara tidak adil, mekanisme pembatalan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri melalui rezim perdata korporasi sebagaimana ditafsirkan dari Pasal 61. Untuk Persero Terbuka, tata laksana RUPS mulai pemanggilan, kuorum, sampai risalah ditata untuk kepastian prosedural dan perlindungan pemegang saham minoritas; menurut OJK (2014), desain prosedural ini mengunci keputusan RUPS sebagai produk korporasi murni, sehingga forum sengketanya berada di peradilan umum.

Sebaliknya pada jalur Perum, menurut Undang‑Undang BUMN (2003), anggota dewan pengawas dan direksi diangkat serta diberhentikan langsung oleh Menteri, bukan oleh RUPS, sehingga produk hukumnya berupa Surat Keputusan Menteri. Berdasarkan definisi Keputusan Tata Usaha Negara, menurut Undang‑Undang PTUN (2009), SK Menteri yang bersifat final, konkret, dan individual adalah KTUN yang justiciable di PTUN; dalam praktik, Mahkamah Agung (2009) turut menegaskan kecenderungan ini ketika menilai karakter administratif pengisian organ pada entitas berbentuk Perum.

Dari sisi fakta lapangan, proses penentuan nama calon umumnya terjadi sebelum rapat mulai dari penjaringan, uji kelayakan‑kepatutan (fit and proper test), verifikasi integritas, hingga pengusulan nama ke agenda RUPS. Menurut Kementerian BUMN (2023), pedoman pengisian organ BUMN mewajibkan tahapan seleksi yang terdokumentasi, termasuk klarifikasi rekam jejak dan evaluasi benturan kepentingan; pada BUMN strategis, praktik administrasi seringkali melibatkan Tim Penilai Akhir (TPA), sehingga secara de facto Menteri BUMN memegang peran dominan dalam penentuan akhir.

Posisi tahap pra‑RUPS penting untuk dibedakan dari keputusan RUPS itu sendiri. Menurut Undang‑Undang PTUN (2009), suatu tindakan pejabat pemerintahan dapat diuji jika memenuhi unsur final, bersifat khas (konkret), serta individual dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum tertentu. Lebih jauh, menurut Undang‑Undang Administrasi Pemerintahan (2014), objek pengujian di PTUN tidak terbatas pada ‘keputusan’ melainkan juga ‘tindakan’ pemerintahan, termasuk dugaan penyalahgunaan wewenang. Dari sisi batas waktu, Mahkamah Agung (2021) melalui SEMA No. 5 Tahun 2021 menegaskan tenggat 90 hari kerja sejak diketahui beserta prasyarat upaya administratif bila dipersyaratkan. Dengan parameter ini, tindakan pra‑RUPS yang sudah final terhadap pihak tertentu misalnya penetapan hasil seleksi yang menggugurkan atau mengakhiri status calon berpotensi memenuhi unsur KTUN.

Isu aktual yang sering disorot adalah penunjukan atau rangkap jabatan komisaris. Menurut Kementerian BUMN (2023), pedoman tata kelola mengharuskan pengungkapan dan pencegahan benturan kepentingan serta integritas calon; dari perspektif HAN, Hadjon (2011) mengingatkan bahwa AUPB khususnya asas kepatutan, kecermatan, dan bebas benturan menjadi ukuran objektif untuk menilai penggunaan wewenang. Melengkapi itu, Indroharto (1994) menekankan pembedaan perbuatan publik‑privat: sekalipun suatu langkah dikemas sebagai korporasi, bila esensinya menjalankan fungsi publik dan berdampak pada hak subjek tertentu, maka kontrol administrasi tetap relevan.

Mini‑brief 1 – Persero (PN). Dalam satu perkara, pemegang saham minoritas menggugat pembatalan keputusan RUPS yang mengangkat komisaris karena dianggap melanggar anggaran dasar dan mengabaikan prosedur pemanggilan. Pengadilan Negeri menguji keabsahan prosedural dan perlindungan minoritas berdasarkan Undang‑Undang PT (2007), lalu menyatakan keputusan RUPS batal demi hukum sehingga posisi komisaris dikoreksi; pelajaran hukumnya: perlindungan minoritas dan kepastian prosedural adalah kunci sengketa korporasi.

Mini‑brief 2 – Perum (PTUN). Dalam perkara lain, seorang petahana menggugat SK Menteri yang memberhentikan dirinya sebagai anggota dewan pengawas Perum. Menurut Undang‑Undang PTUN (2009), SK tersebut adalah KTUN; PTUN kemudian menilai wewenang, prosedur, dan alasan substansial pemberhentian berdasarkan AUPB dan Undang‑Undang Administrasi Pemerintahan (2014). Putusan mengoreksi cacat prosedural (misalnya tidak diberi kesempatan klarifikasi) sehingga SK dibatalkan; pelajaran hukumnya: keputusan administratif pengisian organ Perum tunduk penuh pada standar HAN.

Mini‑brief 3 – Rangkap jabatan & etika publik. Seorang pejabat publik merangkap sebagai komisaris di BUMN strategis dan menuai keberatan dari pemegang saham minoritas. Menurut Kementerian BUMN (2023), standar integritas dan benturan kepentingan menuntut pengungkapan penuh serta mekanisme cooling‑off; sementara Hadjon (2011) mendorong penerapan AUPB sebagai batu uji objektif. Pelajaran hukumnya: transparansi alasan (reason‑giving) dan pengujian benturan kepentingan adalah prasyarat legitimasi, baik pada forum RUPS (korporasi) maupun pada kontrol PTUN (administrasi).

OPSI REFORMASI; RUPS PUBLIK

Gagasan RUPS Publik berfokus pada pemisahan yang jelas antara agenda organ dan agenda bisnis murni dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BUMN. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan lapisan akuntabilitas administratif yang lebih kuat dalam proses pengangkatan dan pemberhentian komisaris serta direksi tanpa perlu merombak struktur hukum yang ada dalam UU Perseroan Terbatas (UUPT) atau UU BUMN. Dengan memisahkan agenda organ dari urusan bisnis, RUPS Publik akan memastikan bahwa keputusan yang menyangkut pemilihan pejabat perusahaan BUMN dapat diuji secara lebih transparan, efektif, dan akuntabel.

Pada inti gagasan ini, proses nominasi pejabat BUMN terutama komisaris dan direksi akan dilakukan oleh Komisi Nominasi Independen (KNI) yang bertanggung jawab untuk menjalankan fit and proper test dan verifikasi integritas para calon. Hasil dari tahapan ini dituangkan dalam Penetapan Daftar Pendek atau Hasil FPT, yang akan menjadi keputusan administratif dengan status final, konkret, dan individual. Dengan demikian, siapa yang dipilih dan apa dampaknya terhadap calon yang bersangkutan menjadi lebih jelas. Selanjutnya, keputusan mengenai pengangkatan pejabat akan dibawa ke RUPS Publik, di mana diharapkan ada kewajiban untuk memberikan alasan tertulis yang rinci, mencakup kompetensi, integritas, rekam jejak, serta kesesuaian dengan kebutuhan perusahaan.

Jika terdapat keberatan terhadap proses ini, pemangku kepentingan dapat mengajukan permohonan kepada Panel Keberatan Administratif yang berada di bawah Kementerian atau holding BUMN. Panel ini akan menilai apakah prosedur telah dijalankan dengan benar, memeriksa apakah ada konflik kepentingan, dan mengevaluasi konsistensi alasan yang diberikan. Hasil dari panel ini akan dicatat sebagai rekam administratif, yang dapat diuji lebih lanjut di PTUN jika diperlukan. Dengan pembagian ini, keputusan administratif yang dihasilkan pada tahap pra-RUPS termasuk hasil seleksi dan penetapan pejabat menjadi objek yang justiciable di PTUN, sementara keputusan RUPS mengenai agenda bisnis tetap berada dalam jalur korporasi, yang akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri (PN) sesuai dengan UUPT.

Untuk menjamin integritas dalam pelaksanaan RUPS Publik ini, safeguards seperti cooling-off period bagi pejabat politik dan penegak hukum yang ingin duduk sebagai komisaris, larangan rangkap jabatan untuk mencegah conflict of commitment, serta deklarasi konflik kepentingan yang wajib dipublikasikan, akan diterapkan. Selain itu, alasan tertulis yang disampaikan dalam setiap keputusan akan mengikuti format baku reason-giving, yang memungkinkan audit dan evaluasi yang transparan. Gagasan ini diharapkan dapat diuji coba terlebih dahulu pada 5–10 BUMN strategis dalam 3–6 bulan untuk dievaluasi berdasarkan indikator yang jelas, seperti kepatuhan prosedural, kualitas alasan tertulis, serta jumlah sengketa yang tersaring. Setelah evaluasi, skema ini dapat diperluas ke BUMN lainnya, memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan akuntabilitas publik tanpa mengorbankan kepastian dan efisiensi pengelolaan korporasi.

KESIMPULAN

Dualisme kedudukan BUMN sebagai entitas bisnis sekaligus instrumen kebijakan publik telah menciptakan ambiguitas yurisdiksi antara hukum korporasi dan hukum administrasi negara. Secara de jure, mekanisme RUPS menempatkan pengangkatan dan pemberhentian komisaris sebagai keputusan organ perseroan yang tunduk pada hukum privat dan diawasi melalui pengadilan negeri. Namun secara de facto, seluruh proses nominasi, seleksi, dan pengusulan nama calon komisaris berada di tangan Menteri BUMN sebagai pejabat publik yang menjalankan fungsi pemerintahan. Dengan demikian, terdapat irisan kewenangan publik yang dibungkus dalam kemasan korporatif—sebuah bentuk administrative disguise yang menyulitkan kontrol hukum publik.

Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, prinsip substance over form sebagaimana dikemukakan oleh Hadjon dan Indroharto menuntut agar pengawasan yudisial tidak berhenti pada bentuk hukum, tetapi menilai substansi kewenangan yang digunakan. Ketika tindakan Menteri BUMN pada tahap pra-RUPS telah bersifat final, konkret, dan individual terhadap subjek tertentu, maka tindakan tersebut seharusnya dikualifikasi sebagai tindakan pemerintahan yang dapat diuji oleh PTUN berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan. Dengan pemaknaan ini, pengujian administrasi tidak menegasikan rezim korporasi, melainkan memperkuat akuntabilitas publik dalam pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Usulan pembentukan RUPS Publik dan Komisi Nominasi Independen menawarkan jalan tengah yang konstruktif. Melalui skema ini, aspek administratif dalam penetapan pejabat (fit and proper test, hasil seleksi, dan daftar pendek) menjadi objek hukum publik yang justiciable di PTUN, sementara keputusan bisnis tetap berjalan dalam jalur korporasi sesuai UU PT. Pemisahan ini selaras dengan arah reformasi hukum melalui pembentukan Danantara dan penguatan pedoman tata kelola Kementerian BUMN yang menekankan transparansi, reason-giving, dan pencegahan benturan kepentingan.

Dengan demikian, tembok formalisme RUPS dapat ditembus tanpa menafikan prinsip hukum perusahaan. Reformasi ini menegaskan bahwa akuntabilitas publik atas penggunaan kewenangan negara tidak boleh berhenti di balik forum korporasi. Sudah saatnya Indonesia membangun rezim hukum hibrid—yang menempatkan BUMN sebagai “entitas publik korporatif”: efisien secara bisnis, namun tetap terbuka terhadap kontrol administratif demi tegaknya prinsip pemerintahan yang baik.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Indroharto, P. (1994). Perbedaan Tindakan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Privat. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Hadjon, P. M. (2011). Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara: Substansi Penggunaan Wewenang Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2013). Putusan No. 48/PUU-XI/2013 dan No. 62/PUU-XI/2013 Tentang Kekayaan Negara dalam BUMN. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

Kementerian BUMN. (2023). Pedoman Tata Kelola dan Pengisian Organ BUMN. Jakarta: Kementerian BUMN.

Pemerintah Republik Indonesia. (2025). Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga UU BUMN dan Pembentukan Badan Pengelola Investasi (Danantara). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2014). Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan RUPS pada Perseroan Terbuka. Jakarta: OJK.

Undang-Undang BUMN. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT). (2007). Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *