Fenomena War Takjil: Cermin Dakwah Kultural dalam Tradisi Ramadan di Indonesia

Author(s): Faradilla Awwaluna Musyaffa’
Institution(s): Persatuan Pelajar Indonesia Sudan
Social Media Account: @faramusyaffa (instagram)
Email: faramusyaffa@gmail.com
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan multicultural nation-state terbesar di dunia yang tersusun dari beragam etnis, agama, suku bangsa, maupun budaya. Kondisi sosio kultur, historis, dan geografis kompleksmenjadikan kemajemukan masyarakat Indonesia tercermin dari asimilasi budaya dan nilai sosial berlandaskan perbedaan multietnis dalam naungan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini menjadikan Indonesia memiliki berbagai tradisi unik yang merangkul masyarakat multikulturalnya salah satunya tradisi umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan (Agustianty, 2011) (Lestari, 2015).
Tradisi menyambut bulan Ramadan di Indonesia memiliki ciri khas berbeda-beda sesuai dengan lingkungan sosial, agama, dan budaya sekitarnya. Masyarakat Jawa memiliki tradisi Punggahan dan Pudunan yang masih dilestarikan sampai sekarang (Yuliyani, 2022). Warga Aceh memiliki tradisi Meugang yaitu tradisi makan daging bersama dengan berbagai kalangan masyarakat. Sementara daerah Kudus memiliki tarian kolosal dalam tradisi Dandangan yang diselenggarakan di alun alun kota untuk menyambut bulan puasa. (Paramesthi et al., 2024). Namun di balik tradisi-tradisi itu ada satu tradisi unik untuk memeriahkan bulan Ramadan di Indonesia yang justru menarik antusiasme masyarakat lintas agama dan budaya yaitu tradisi berburu takjil atau biasa disebut dengan ‘War Takjil’ (Febriyanti et al., 2024).
Fenomena War Takjil sendiri merupakan praktik yang telah dilakukan sejak lama di Indonesia selama bulan puasa (Aminah et al., 2022). Namun dengan pesatnya perkembangan platform media, fenomena ini kembali viral saat hal tersebut dijadikan tren di media sosial yang tak hanya diikuti oleh umat Islam namun juga umat non Islam. Fenomena War Takjil di negara multikultural seperti Indonesia tidak hanya dimaknai sebagai tradisi menjelang berbuka, melainkan juga simbol persatuan dan toleransi untuk mempererat ikatan sosial dan sikap saling menghormati antar sesama (Sumanti & Sazali, 2024).
Fenomena War Takjil yang mampu menyampaikan pesan Islam secara rahmatan lil alamin dan toleransi melalui budaya populer, menjadikan fenomena ini dapat menjadi sarana dakwah berbasis kultural dalam menginternalisasikan nilai-nilai wasatiyah Islam di masyarakat tanpa adanya paksaan (Amin, 2020). Dakwah kultural menjadi alternatif unik untuk menjalankan kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya untuk menghasilkan kultur alternatif dengan memperhitungkan manfaat budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Untuk itu, tulisan ini ingin mengungkap nilai-nilai dakwah kultural dalam fenomena War Takjil sebagai salah satu tradisi Ramadan di Indonesia. Sehingga War Takjil tidak hanya dimaknai sebagai tradisi keagamaan umat Islam dalam menjalani Ramadan namun juga aktualisasi nilai Islam yang wasatiyah seperti toleransi, kasih sayang, dan kepedulian sosial untuk memberikan harmoni di balik perbedaan multikultural yang ada di Nusantara.
B. Hasil dan Pembahasan
Kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)
POV: Nonis Lagi War Takjil menjadi pencarian yang sedang tren di platform TikTok akhir-akhir ini. Tren berebut takjil dengan masyarakat nonmuslim pada Ramadan 1446 H disambut baik oleh banyak konten kreator khususnya konten kreator nonmuslim yang acapkali memparodikan fenomena War Takjil mulai dari ikut menggunakan baju muslim, menghafal nama-nama nabi, sampai berbagi strategi mencuri start memborong takjil sebelum ludes dibeli oleh kaum muslim.
Fenomena War Takjil sudah menjadi bagian dari tradisi budaya di Indonesia selama bulan Ramadan, di mana masyarakat berbondong bondong mencari dan menikmati beragam takjil yang dijual menjelang berbuka (Sumanti & Sazali, 2024). Tradisi ini tak hanya menarik minat masyarakat muslim namun juga menarik antusias umat nonmuslim dan warga negara asing. Fenomena berebut takjil selain memberi manfaat ekonomi pada UMKM muslim juga menjadi sarana memperkuat sikap toleransi karena adanya interaksi sosial dengan individu lintas agama dan budaya lain (Febriyanti et al., 2024).
Konteks tradisi Islam dalam War Takjil yang bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tanpa menghilangkan aspek substansi dan ciri khas agama merupakan ciri dari dakwah kultural. Di mana keunikan dakwah kultural adalah membumikan ajaran agama Islam yang bersifat rahmatan lil alamin ditengah masyarakat sehingga nilai Islam dapat dipahami dan dikaji sebagai ungkapan makhluk budaya dan makhluk sosial. Praktik tradisi Islam yang melibatkan interaksi dengan masyarakat multikultural ini memiliki nilai-nilai ukhuwah basyariyah yang dapat membangun pondasi kokoh dalam berkehidupan di tengah perbedaan majemuk di Indonesia.
Dalam konteks dakwah kultural lewat fenomena War Takjil ada substansi yang mampu meningkatkan kesadaran teologis tentang makna penting hidup bersama dan bersesama. Membangun kesadaran teologis tentu tidak sesempit mengubah sistem kepercayaan dan apologetic seseorang, namun merupakan upaya membangun rasa simpatik dan saling menghargai perbedaan sejauh yang dibolehkan dalam koridor syariat. Pembangunan kesadaran teologis lewat dakwah kultural diperlukan untuk mendidik masyarakat sehingga mampu hidup rukun dan bersesama dalam perbedaan.
Cermin dakwah kultural melalui fenomena War Takjil menggunakan bentuk dakwah bil hal melalui nilai-nilai Islam yang dipraktikkan langsung dalam kehidupan nyata sehingga pesan-pesan agama disampaikan melalui nilai-nilai sosial bukan melalui ceramah dan nasehat formal. Adapun cermin dakwah kultural dalam fenomena War Takjil dalam tradisi Ramadan di Indonesia dapat dibagikan kepada tiga dimensi yaitu toleransi dan kedamaian, solidaritas sosial, dan kasih sayang.
- Toleransi dan Kedamaian
Islam sebagai agama yang dipeluk 207 juta dari total keseluruhan masyarakat Indonesia menjadikannya agama mayoritas yang akhirnya memiliki banyak pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat cenderung familiar dengan peribadatan dan tradisi yang dijalankan umat Islam, salah satunya tradisi War Takjil di bulan Ramadan (Febriyanti et al., 2024).
War Takjil selain berpotensi meningkatkan ekonomi juga mampu menjadi sarana interaksi lintas agama dan budaya. Interaksi ini menjadikan War Takjil sebagai tradisi yang dapat melekatkan keharmonisan antar golongan lintas latar belakang. Cermin dakwah kultural di fenomena War Takjil adalah dengan mengimplementasikan nilai-nilai religius di bulan Ramadan yang sarat dengan aspek kesabaran, belas kasihan, dan spirit berbuat baik kepada masyarakat luas. Tak jarang fenomena ini akhirnya memantik keingin-tahuan umat nonmuslim untuk mempelajari Islam karena nilai-nilai religiusitas disampaikan lewat pendekatan sosial dan budaya (Sumanti & Sazali, 2024).
- Solidaritas Sosial
War Takjil memantik terciptanya solidaritas sosial melalui hubungan individu maupun kelompok untuk berinteraksi satu sama lain. Solidaritas sosial menurut Durkheim merupakan suatu hubungan antar individu atau kelompok dengan didasarkan pada moral dan kepercayaan yang dikuatkan oleh pengalaman bersama. Dalam tradisi War Takjil terdapat interaksi saling membutuhkan yang melibatkan berbagai kalangan dan dikuatkan melalui pengalaman bersama. Tak jarang di beberapa momen umat Islam juga memberikan takjil gratis secara cuma-cuma. Dakwah kultural melalui solidaritas sosial mampu menumbuhkan sikap bekerja sama di antara banyak perbedaan (Saputra et al., 2025).
- Kasih Sayang
Fungi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin identik dengan ajaran yang memastikan kebaikan di dunia dan akhirat. Substansi rahmat yang terletak di fungsi ajaran Islam dapat terwujud jika telah menaati dan menjalankan aturan Islam secara benar dan sempurna. Dalam konteks fenomena War Takjil, fungsi rahmat diaaktualisasikan dengan wujud keteladanan, kelembutan bergaul, dan sikap menghormati manusia sebagai hamba Allah. Fungsi rahmat yang diinternalisasikan melalui budaya setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam merupakan salah satu cermin dari dakwah kultural yang ada di tradisi War Takjil selama bulan Ramadan (Muvid, 2021).
C. Kesimpulan
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia dengan persentase 87, 2% dari total populasi keseluruhan menjadikan umat Islam memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan dari perbedaan multikultur yang ada di Nusantara. Sebagai pemeluk agama mayoritas, praktik agama maupun tradisi Islam menjadi sesuatu yang familiar di tengah masyarakat, salah satu tradisi yang memantik antusiasme masyarakat multikultur di Indonesia adalah tradisi War Takjil yang ada selama bulan Ramadan.
War Takjil merupakan tradisi yang menggunakan pendekatan dakwah kultural dengan mengaktualisasikan kegiatan dakwah yang memperhatikan potensi manusia sebagai makhluk budaya untuk menghasilkan kultur alternatif yang membawa nilai-nilai wasatiyah sejauh yang diperbolehkan syariat. Cermin dakwah kultural dalam fenomena War Takjil diantaranya adalah: 1) Toleransi dan kedamaian 2) Solidaritas Sosial, dan 3) Kasih sayang.
Dengan demikian tradisi War Takjil yang melibatkan interaksi sosial antar masyarakat multikultural, tak hanya dapat dimaknai sebagai tradisi keagamaan umat Islam dalam menjalani Ramadan, namun juga aktualisasi nilai Islam yang wasatiyah seperti toleransi, kasih sayang, dan kepedulian sosial untuk memberikan harmoni di balik perbedaan multikultural yang ada di Nusantara.
Daftar Pustaka
Agustianty, E. F. (2011). Multikulturalisme Di Indonesia. Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–7. https://osf.io/tejgv
Amin, H. M. (2020). Dakwah Kultural Menurut Perspektif Pendidikan Islam. Atta’dib Jurnal Pendidikan Agama https://doi.org/10.30863/attadib.v1i2.1023 Islam, 1(2), 71–84.
Aminah, S. (2022). Analisis Konten Tiktok War Takjil Ramadhan dalam menumbuhkan Sikap Toleransi antar Umat Beragama. 2(1), 1–11.
Febriyanti. (2024). FENOMENA BERBURU TAKJIL DALAM MENINGKATKAN TOLERANSI DI INDONESIA SEBAGAI IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA Olivia. 5(2), 62–69.
Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan Sara. Jurnal Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(1), 31–37.
Muvid, M. B. (2021). MENJUNJUNG TINGGI ISLAM AGAMA KASIH SAYANG DAN CINTA KASIH DALAM DIMENSI SUFISME. 16(2), 241–267.
Paramesthi, A. (2024). Ramadan Di Berbagai Negara: Manifestasi Kebudayaan Dalam Ibadah. 10(23), 1248–1252.
Saputra, R. E. A. (2025). Analisis Nilai Ukhuwah Basyariyah dalam Fenomena War Takjil di Bulan Ramadhan. 6(1), 61–76.
Sumanti, E. (2024). Fenomena” War Takjil” di Media Sosial pada Ramadan 1445 H (Toleransi dan Dampaknya). MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan, Sejarah, Dan Ilmu-Ilmu Sosial, 8(2), 338–347. Yuliyani, D. S. (2022). Mengenal Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan (Studi Tentang Tradisi Punggahan dan Pudunan). Sosial Budaya, 19(1), 39–47.