Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara dalam Optimalisasi Pemanfaatan Barang Milik Daerah
Barang Milik Daerah (BMD) merupakan salah satu elemen vital dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berfungsi mendukung pelaksanaan tugas, pelayanan publik, serta pembangunan daerah. Namun, pemanfaatan BMD di berbagai daerah masih belum optimal, terlihat dari banyaknya aset yang tidak termanfaatkan, tidak tercatat, bahkan disalahgunakan. Hal ini berdampak pada rendahnya kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menimbulkan potensi terjadinya pelanggaran administrasi hingga tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam rangka optimalisasi pemanfaatan BMD, khususnya melalui asas legalitas, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan proporsionalitas. Kajian ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip HAN dapat meningkatkan tertib administrasi, mencegah penyalahgunaan wewenang, serta mendorong pemanfaatan BMD secara lebih efektif dan efisien. Meski demikian, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, seperti lemahnya pengawasan internal, keterbatasan sumber daya manusia, serta tumpang tindih regulasi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi tata kelola aset daerah melalui penguatan regulasi, digitalisasi sistem manajemen aset, dan peningkatan kapasitas aparatur daerah. Kajian ini menegaskan pentingnya penerapan prinsip-prinsip HAN secara konsisten dalam pengelolaan BMD sebagai langkah strategis menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pendahuluan
Barang Milik Daerah (BMD) merupakan salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai bagian dari kekayaan daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah, BMD memiliki peran strategis dalam mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Namun, dalam praktiknya, pengelolaan dan pemanfaatan BMD sering kali belum optimal. Banyak aset daerah yang tidak digunakan secara efektif, bahkan ada yang terlantar, disalahgunakan, atau belum tercatat dengan baik dalam administrasi pemerintahan.
Kondisi tersebut menimbulkan berbagai permasalahan, mulai dari rendahnya kontribusi BMD terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), hingga potensi terjadinya penyimpangan administrasi dan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibutuhkan penerapan prinsip-prinsip hukum administrasi negara dalam setiap aspek pengelolaan dan pemanfaatan BMD agar tercipta tata kelola yang baik, tertib, dan berkeadilan.
Hukum administrasi negara sebagai cabang hukum publik memiliki peran penting dalam mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat, termasuk dalam hal pengelolaan aset daerah. Prinsip-prinsip dasar seperti asas legalitas, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan kepastian hukum harus dijadikan landasan dalam setiap tindakan administrasi pemerintahan daerah. Penerapan prinsip-prinsip tersebut akan memastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan terkait BMD tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga bermanfaat secara sosial dan ekonomi.
Melalui penerapan prinsip-prinsip hukum administrasi negara secara konsisten, diharapkan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pemanfaatan BMD secara produktif dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), yaitu mewujudkan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, serta berorientasi pada kepentingan publik.
Dengan demikian, kajian mengenai penerapan prinsip-prinsip hukum administrasi negara dalam optimalisasi pemanfaatan barang milik daerah menjadi penting untuk mendorong terciptanya tata kelola aset daerah yang profesional, berintegritas, dan berdaya guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembahasan
Pemanfaatan Barang Milik Daerah
Pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) merujuk pada penggunaan aset yang tidak digunakan secara langsung dalam pelaksanaan fungsi maupun tugas dari satuan kerja perangkat daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan nilai tambah terhadap barang milik daerah tanpa mengubah status kepemilikannya. Pemanfaatan ini merupakan salah satu aspek penting dalam tahapan pengelolaan BMD. Adapun tujuan utama dari pemanfaatan barang milik daerah antara lain adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan aset daerah, menambah pendapatan daerah, menekan beban belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya terkait biaya perawatan, mencegah potensi penyerobotan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, menciptakan peluang kerja, serta mendorong peningkatan pendapatan masyarakat.[1] Dengan demikian, pemanfaatan BMD dilakukan terhadap aset yang tidak digunakan secara langsung dalam pelaksanaan tugas lembaga pemerintah, dan bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatannya tanpa mengalihkan kepemilikan aset tersebut. Dalam pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Daerah, terdapat sejumlah pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakannya, yakni Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah, serta Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Pihak Ketiga. Ketentuan mengenai pihak-pihak ini telah diatur dalam Pearuran Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2024 atas perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Peraturan tersebut secara lebih rinci menetapkan peran masing-masing pihak dalam proses pemanfaatan barang milik daerah. Dengan demikian, pelaksanaan pemanfaatan BMD melibatkan empat pihak utama, yaitu Kepala Daerah, Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Pihak Lain.
- Asas Legalitas (rechmatigheid) dalam Pemanfaatan Barang Milik Daerah
Perbuatan Administrasi harus berdasarkan hukum, maksudnya bahwa setiap perbuatan administrasi negara dalam membuat peraturan, maupun dalam membuat ketetapan berdasarkan hukum yang berlaku, atau konkret berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas Legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental.[2] Menurut F.P.C.L. Tonneaer, kewenangan pemerintahan dalam kaitannya ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum anatara pemerintah dan warga negara.
Dalam kajian HAN/HTN dikenal dengan istilah asas “wetmatigheid van het bestuur”, yang mengadung arti bahwa setiap tindakan pemerintahan itu harus ada dasar hukumnya dalam suatu peraturan perundang-undangan. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan kenegaraan, asas legalitas dalam HAN maksudnya adalah bahwa semua perbuatan dan keputusan pejabat administrasi harus didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan adanya asas legalitas sebagai untuk yang utama dalam suatu negara hukum maka hal itu berarti setiap tindakan administrasi negara harus berdasarkan hukum.[3]
Dengan demikian bahwa, Asas Legalitas menegaskan bahwa setiap tindakan administrasi pemerintah harus memiliki dasar hukum. Dalam konteks BMD, pemerintah daerah wajib mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku dalam setiap kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan aset, maka tanpa dasar hukum yang sah/konkrit, setiap tindakan administrasi berpotensi dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Oleh karena itu, penerapan asas legalitas menjadi prasyarat utama untuk menjamin tertib administrasi dan mencegah potensi pelanggaran hukum. Sebagai salahsatu contoh pengelolaan dan pemanfaatan aset daerah dalam bentuk sewa menyewa barang milik daerah baik berupa tanah ataupun bangunan harus berdasarkan tahapan tahapan yang sesuai dengan aturan Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 Tengtang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, mulai dari perencanaan, objek sewa, jangka waktu sewa BMD lebih dari 1 tahun sampai dengan 5 tahun sejak ditandatangani perjanjian dan dapat di perpanjang. Adapun besaran sewa BMD merupakan perkalian dari tarif pokok Sewa; dan faktor penyesuaian sewa. Jadi sebelum dilaksanakannya perjanjian sewa objek sewa harus dilakukan penilaian BMD dalam rangka untuk mengatahui besaran sewa yang akan disewakan. Dengan demikian maka perlu adanya asas legalitas dalam pengelolaan/pemanfataan BMD ini dalam rangka patuh administrasi dan tidak mengakibatkan pelanggaran hukum. Untuk itu diharapkan dengan berlakunya Peraturan ini, pengelolaan BMD dapat berjalan lebih efektif, efisien, serta sesuai dengan prinsip- prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.[4]
- Asas Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi merupakan keterbukaan (openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.[5] Transparansi mempunyai makna dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu :
- Salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah kepad rakyat, adalah dengan cara pemerintah melaksanakan keterbukaan kepada masyarakatnya. Mulai dari pembuatan kebijakan sampai dengan pelaksanaan kebijakan.
- Upaya peningkatan menejemen pengelolaan dan pengeyelnggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktik kolusi, dan nepotisme (KKN). Sering terjadinya KKN karena pemerintah sebagai pengelenggara pemerintahan tidak melakukan transparansi yang benar kepada masyarakatnya. Tidak memberikan informasi-informasi mengenai jalannya pemerintahan itu sendiri sehingga KKN terus terjadi.[6]
Jadi asas akuntabilitas dan transparansi merupakan prinsip-prinsip yang mendukung integritas dan efektivitas dalam hukum administrasi publik. Keduanya berperan penting dalam menciptakan pemerintahan yang bersih, effisien, dand responsive terhadap kepentingan masyarakat. Dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dan informasi. Prinsip transparansi menuntut keterbukaan informasi mengenai status, nilai, dan pemanfaatan aset daerah kepada publik. Sementara akuntabilitas menekankan pada tanggungjawab aparatur pemerintah terhadap kebijakan dan keputusan yang diambil. Dalam lingkup pengelolaan Barang Milik Daerah, kedua prinsip ini dapat diwujudkan melalui publikasi laporan aset daerah, penggunaan sistem informasi menejemen barang milik daerah, serta audit berkala oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Inspektorat Daerah.
- Prinsip Proporsionalitas dan Efisiensi
Dalam pelaksanaan pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD), prinsip proporsionalitas dan efisiensi memegang peranan penting guna memastikan bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil tidak hanya sah secara administratif, tetapi juga adil dan bernilai guna. Prinsip proporsionalitas menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan pemerintah daerah dan pihak ketiga yang terlibat dalam pemanfaatan aset daerah. Hal ini berarti, setiap bentuk kerja sama atau perjanjian misalnya dalam bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, atau Bangun Guna Serah (BGS) – harus dirancang sedemikian rupa agar kedua belah pihak memperoleh manfaat yang setara, tanpa ada pihak yang dirugikan, khususnya dalam hal potensi kerugian terhadap keuangan daerah.
Lebih lanjut, prinsip efisiensi menuntut agar pemanfaatan BMD dilakukan dengan cara yang paling optimal, yaitu dengan meminimalkan biaya dan risiko sambil memaksimalkan manfaat, baik dalam bentuk penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun peningkatan pelayanan publik. Oleh karena itu, sebelum suatu aset dimanfaatkan, harus dilakukan analisis kebutuhan, studi kelayakan, dan evaluasi manfaat jangka panjang untuk memastikan bahwa pemanfaatan tersebut memang merupakan pilihan terbaik secara ekonomi dan administratif. Penerapan kedua prinsip ini juga menjadi dasar pengambilan keputusan yang rasional dan akuntabel oleh pejabat pengelola BMD. Tanpa adanya perhatian terhadap proporsionalitas dan efisiensi, pemanfaatan aset daerah berpotensi menjadi beban fiskal, menimbulkan konflik kepentingan, atau bahkan membuka celah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang.
- Implikasi dan Tantangan
Meskipun prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara (HAN) seperti akuntabilitas, efisiensi, transparansi, dan proporsionalitas telah dijadikan acuan normatif dalam pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang cukup kompleks. Salah satu persoalan utama adalah lemahnya sistem pengawasan internal, baik dari segi struktur maupun fungsi. Banyak pemerintah daerah belum memiliki mekanisme pengendalian internal yang efektif untuk memantau dan mengevaluasi pemanfaatan aset secara berkelanjutan, sehingga potensi penyimpangan masih sering terjadi. Selain itu, terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi teknis dan hukum di bidang pengelolaan aset daerah juga menjadi kendala serius. Banyak aparatur yang menangani aset belum memiliki pemahaman memadai mengenai prinsip-prinsip hukum administrasi maupun regulasi teknis yang berlaku, sehingga proses pengelolaan seringkali tidak sesuai dengan ketentuan atau bahkan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).[7]
Tumpang tindih dan ketidaksinkronan regulasi antar instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah, juga memperburuk kondisi implementasi. Misalnya, perbedaan tafsir antara Peraturan Menteri Dalam Negeri dan peraturan teknis lainnya dapat menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan di tingkat daerah, bahkan berisiko memunculkan konflik kewenangan antarlembaga. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, diperlukan upaya strategis dan sistematis, antara lain melalui reformasi sistem administrasi pengelolaan aset daerah. Hal ini dapat dimulai dengan digitalisasi data aset untuk memastikan transparansi dan akurasi informasi, pengembangan sistem informasi manajemen aset berbasis teknologi, serta pelatihan dan peningkatan kapasitas aparatur secara berkelanjutan. Tidak kalah penting, penguatan mekanisme pengawasan hukum, baik internal maupun eksternal, perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap tahapan pengelolaan BMD, khususnya dalam aspek pemanfaatan, berjalan sesuai prinsip-prinsip hukum administrasi negara. Peran Inspektorat Daerah, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Aparat Penegak Hukum harus diperkuat dalam rangka mendorong kepatuhan terhadap regulasi, sekaligus mencegah terjadinya praktik maladministrasi atau korupsi dalam pengelolaan aset publik.
Opini Penulis
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa bahwa pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) tidak dapat lagi dilakukan secara konvensional dan administratif semata, melainkan harus menjadi bagian dari agenda strategis reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Aset daerah bukan sekadar barang inventaris, melainkan instrumen penting dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Penerapan prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara seperti asas legalitas, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan proporsionalitas harus menjadi fondasi utama dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan BMD. Tanpa penerapan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten, risiko terjadinya penyimpangan, inefisiensi, dan penyalahgunaan kewenangan akan tetap tinggi, bahkan dalam kerangka regulasi yang sudah ada.
Lebih jauh, saya meyakini bahwa transformasi digital dalam sistem manajemen aset daerah, peningkatan kompetensi SDM, serta penguatan pengawasan hukum yang independen adalah .kunci keberhasilan dalam optimalisasi pemanfaatan BMD. Pemerintah daerah harus mulai mlelihat aset bukan sebagai beban, tetapi sebagai potensi ekonomi yang mampu memberi dampak langsung bagi peningkatan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai bagian dari masyarakat akademik, saya mendorong agar lebih banyak kajian kritis dan aplikatif mengenai pemanfaatan BMD dikembangkan, sehingga tidak hanya menghasilkan konsep-konsep normatif, tetapi juga solusi konkret yang bisa diterapkan di berbagai daerah di Indonesia.
Kesimpulan
Pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) memiliki peran strategis dalam mendukung fungsi pemerintahan daerah serta peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, masih ditemukan berbagai permasalahan yang menghambat optimalisasi pemanfaatan aset daerah, seperti aset yang tidak termanfaatkan, pengelolaan yang tidak sesuai prosedur, serta lemahnya sistem pengawasan dan kompetensi aparatur. Penerapan prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara (HAN) menjadi krusial dalam menjawab permasalahan tersebut. Prinsip legalitas menjamin bahwa setiap tindakan administrasi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Transparansi dan akuntabilitas memastikan bahwa proses pengelolaan dan pemanfaatan BMD dapat diawasi oleh publik dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Sementara itu, prinsip proporsionalitas dan efisiensi mendorong terwujudnya kebijakan yang adil, rasional, dan berorientasi pada nilai guna yang maksimal tanpa membebani keuangan daerah.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut telah menjadi acuan normatif, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan SDM, ketidaksinkronan regulasi, serta minimnya infrastruktur digital dan sistem informasi yang memadai. Oleh karena itu, reformasi sistem pengelolaan BMD harus dilakukan secara menyeluruh, melalui penguatan kapasitas aparatur, digitalisasi data aset, serta peningkatan efektivitas pengawasan hukum baik internal maupun eksternal. Dengan penerapan prinsip-prinsip HAN secara konsisten dan terintegrasi dalam pengelolaan BMD, diharapkan akan tercipta tata kelola aset daerah yang lebih tertib, transparan, efisien, dan bertanggung jawab. Hal ini pada akhirnya akan mendukung tercapainya tujuan good governance dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Andy Prasetiawan Hamzah, Arvan Carlo Djohansjah, Pemanfaatan Barang Milik Daerah, (Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan, 2010), hlm. 6.
Arifin Tahir. 2015. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Bandung, Alfabeta, hlm.109
Deti Kumalasari, Ikhsan Budi Riharjo, “Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa”, Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Volume 9, (November, 2015), hlm. 3.
Diana Halim Koentjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 38.
Mustafa, Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm.97-98
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 2024 atas Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.19 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengalolaan Barang Milik Daerah.
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
[1] Andy Prasetiawan Hamzah, Arvan Carlo Djohansjah, Pemanfaatan Barang Milik Daerah, (Jakarta:
Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan, 2010), hlm. 6.
[2] Mustafa, Bachsan, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm.97-98
[3] Diana Halim Koentjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 38.
[4] Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 2024 atas Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.19 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengalolaan Barang Milik Daerah.
[5] Deti Kumalasari, Ikhsan Budi Riharjo, “Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa”, Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Volume 9, (November, 2015), hlm. 3.
[6] Arifin Tahir. 2015. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Bandung, Alfabeta, hlm.109
[7] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.