TANGGUNG JAWAB BPOM TERHADAP PEREDARAN PRODUK OBAT SIRUP ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN
Artikel ini membahas tanggung jawab hukum dan kelembagaan BPOM atas kasus gagal ginjal akut pada anak tahun 2022 akibat obat sirup yang mengandung cemaran ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG). Artikel ini menyoroti lemahnya pengawasan pra-edar dan pasca-edar yang menunjukkan kegagalan BPOM dalam menjalankan fungsi preventifnya, sehingga melanggar hak konstitusional warga atas kesehatan. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023, Perpres No. 80 Tahun 2017, dan UU Perlindungan Konsumen, BPOM memiliki tanggung jawab administratif, etik, dan substantif untuk menjamin keamanan, khasiat, serta mutu obat. BPOM bertanggung jawab secara kelembagaan atas kelalaian pengawasan dan merekomendasikan reformasi sistem pengawasan melalui regulasi berbasis risiko, digitalisasi perizinan dan distribusi, serta penguatan laboratorium daerah guna meningkatkan akuntabilitas dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
LATAR BELAKANG
Kasus gagal ginjal akut yang menimpa anak-anak di Indonesia terjadi pada tahun 2022, ketika ratusan anak Indonesia mengalami gagal ginjal akut progresif atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) setelah mengonsumsi obat sirup yang mengandung cemaran ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) dalam kadar tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, lebih dari 320 anak menjadi korban, dengan tingkat fatalitas mencapai lebih dari 60%. Temuan BPOM menunjukkan bahwa sejumlah produk farmasi yang beredar di pasaran menggunakan bahan pelarut propilen glikol dan polietilen glikol yang tercemar EG dan DEG, yang seharusnya tidak digunakan atau harus berada dalam batas aman tertentu. Fakta ini mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan pra-edaran (pre-market control) dan pasca-edaran (post-market control) terhadap mutu, keamanan, dan kelayakan obat yang beredar di Indonesia.
Kelemahan tersebut memperlihatkan adanya celah serius dalam mekanisme pengawasan yang seharusnya dijalankan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang memiliki mandat konstitusional untuk mengawasi obat dan makanan, BPOM bertanggung jawab menjamin agar setiap produk yang beredar memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM dan dipertegas kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 304 hingga Pasal 312. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pengawasan terhadap obat-obatan mencakup kewajiban sertifikasi, standardisasi, hingga mekanisme penarikan produk berisiko (recall) apabila ditemukan bahaya bagi kesehatan masyarakat.
Dalam konteks kasus gagal ginjal akut pada anak, peran BPOM menjadi sorotan publik karena dianggap tidak melaksanakan fungsi preventifnya dengan baik. Penarikan obat baru dilakukan setelah banyak korban berjatuhan, menunjukkan bahwa pengawasan lebih bersifat reaktif daripada preventif. Menurut Tarigan, lemahnya sistem pengawasan industri farmasi di Indonesia disebabkan oleh keterbatasan uji bahan baku impor, kurangnya koordinasi lintas lembaga, serta rendahnya kapasitas pengawasan laboratorium daerah.[1] Hal ini berdampak pada munculnya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas obat dan sistem kesehatan nasional.
Krisis tersebut menimbulkan persoalan hukum dasar yakni sejauh mana BPOM dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kelalaian dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran obat sirup anak yang mengandung zat berbahaya. Tanggungjawab lembaga negara seperti BPOM bukan hanya administratif, tetapi juga bersifat substantif – yakni menyangkut perlindungan hak konstitusional warga negara atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Kegagalan lembaga negara dalam menjamin keamanan obat merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip public accountability, yang menuntut adanya mekanisme pertanggungjawaban baik secara etik, administratif, maupun hukum.[2]
Berdasarkan hal tersebut, penting untuk menelaah secara mendalam tanggung jawab hukum BPOM terhadap peredaran obat sirup anak yang mengandung cemaran EG dan DEG dalam perspektif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kajian ini tidak hanya relevan dalam rangka menilai batas kewenangan dan tanggung jawab BPOM sebagai lembaga pengawas, tetapi juga menjadi dasar untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas hukum dan reformasi pengawasan obat nasional, guna mencegah tragedi serupa di masa mendatang dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem perlindungan kesehatan negara.
ANALISA HUKUM
Identifikasi Dasar Hukum
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pasal 28H ayat (1): Menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.
- Pasal 34 ayat (3): Menegaskan tanggung jawab negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
- Pasal 304-312: Menetapkan tanggung jawab pemerintah pusat (termasuk BPOM) untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat.
- Pasal 306 ayat (2): Menyebutkan kewajiban pemerintah melakukan standardisasi, sertifikasi, serta mekanisme penarikan (recall) terhadap obat yang tidak memenuhi syarat.
- Pasal 310-312: Mengatur kewajiban pemerintah dalam melakukan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang perbekalan kesehatan termasuk obat.
- Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
- Pasal 4: Menyebutkan tugas BPOM untuk melaksanakan kebijakan pengawasan terhadap obat dan makanan, termasuk pengujian, perizinan, serta penyidikan atas pelanggaran di bidang tersebut.
- Pasal 5 huruf a-c: Memberikan kewenangan kepada BPOM untuk menerbitkan izin edar, melakukan intelijen dan penyidikan, serta menjatuhkan sanksi administratif.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 8 dan Pasal 19: Melarang peredaran barang berbahaya dan menegaskan tanggung jawab pelaku usaha maupun pemerintah untuk menjamin keamanan produk bagi konsumen.
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (sebagai ketentuan sebelumnya yang kini telah digantikan sebagian oleh UU No. 17/2023)
- Pasal 106 ayat (1): Mengatur bahwa sediaan farmasi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari pemerintah.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Obat dan Pengawasan Obat
Bentuk tanggung jawab BPOM Terhadap Peredaran Produk Obat Sirup Anak. di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
Berdasarkan prinsip konstitusional dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, negara memiliki kewajiban menjamin hak warga negara atas pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu. Dalam konteks ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan organ administratif negara yang diberi mandat untuk memastikan keamanan, khasiat, dan mutu sediaan farmasi sebelum dan setelah beredar di masyarakat. Kewenangan tersebut ditegaskan dalam Pasal 304-312 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menempatkan BPOM sebagai lembaga teknis pengawas dalam sistem kesehatan nasional. Dengan demikian, setiap kegagalan pengawasan terhadap produk obat yang membahayakan publik, seperti kasus cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirup anak, dapat menimbulkan konsekuensi hukum berupa pertanggungjawaban administratif maupun moral bagi BPOM sebagai bagian dari tanggung jawab negara atas hak kesehatan masyarakat.[3]
Secara operasional, tanggung jawab BPOM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, khususnya Pasal 4 dan Pasal 5 huruf a-c, yang memberikan kewenangan kepada BPOM untuk melakukan pengujian, perizinan edar, intelijen, penyidikan, serta penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran di bidang obat dan makanan. Kewenangan tersebut menunjukkan bahwa BPOM tidak hanya berfungsi sebagai lembaga sertifikasi teknis, tetapi juga sebagai law enforcement agency di bidang pengawasan obat. Apabila BPOM lalai melakukan pengawasan, misalnya dalam proses pra-edar atau penarikan (recall) produk yang tidak memenuhi standar sebagaimana diatur dalam Pasal 306 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023, maka BPOM dapat dimintai pertanggungjawaban hukum secara administratif karena telah gagal memenuhi kewajiban pengawasan yang menjadi mandat undang-undang.
Tanggung jawab hukum atas peredaran obat sirup anak yang mengandung bahan berbahaya tidak hanya dibebankan kepada produsen, tetapi juga kepada BPOM sebagai otoritas yang memberikan izin edar. Berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib menjamin keamanan produk yang diedarkan, dan pemerintah berkewajiban menjamin perlindungan hukum terhadap konsumen. Dengan demikian, pengawasan BPOM merupakan bentuk penerapan prinsip strict liability secara kelembagaan, di mana kelalaian pengawasan terhadap produk berisiko tinggi seperti obat sirup anak dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran administratif yang berdampak pada kerugian publik.
Dalam sudut pandang hukum administrasi kesehatan, tanggung jawab BPOM mencakup aspek preventif, kuratif, dan represif. Tanggung jawab preventif dilakukan melalui evaluasi dan pengawasan izin edar; kuratif melalui pengujian dan recall produk yang terbukti mengandung bahan berbahaya dan represif melalui penegakan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh industri farmasi. Berdasarkan Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Obat dan Pengawasan Obat, BPOM bersama Kementerian Kesehatan wajib melakukan pengawasan pasca-edar secara berkelanjutan untuk menjamin keamanan obat di pasar. Kegagalan dalam melaksanakan ketiga bentuk tanggung jawab tersebut tidak hanya melanggar prinsip good governance dalam administrasi publik, tetapi juga dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional masyarakat atas kesehatan yang dijamin oleh UUD 1945.
Efektivitas sanksi BPOM kepada perusahaan farmasi produsen Obat Sirup Anak yang melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
Efektivitas penegakan sanksi BPOM terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh produsen obat sirup anak perlu dianalisis dari aspek hukum, kelembagaan, dan penegakan regulasi. Berdasarkan Pasal 138 ayat (2) dan Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, setiap sediaan farmasi wajib memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu serta hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar resmi dari pemerintah. Kewenangan pengawasan pra dan pasca-edar ini dijalankan oleh BPOM sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM, yang memberi mandat kepada lembaga tersebut untuk melakukan pengujian, pengawasan, serta penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran di bidang obat dan makanan. Namun, dalam praktiknya, lemahnya deteksi dini BPOM terhadap cemaran bahan berbahaya seperti etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) menunjukkan bahwa sistem pengawasan pra-edar belum berjalan efektif, khususnya dalam memastikan kepatuhan terhadap standar farmakope Indonesia.
Secara perdata, efektivitas penegakan sanksi BPOM tampak terbatas pada upaya kompensasi terhadap korban melalui mekanisme pertanggungjawaban produsen. Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen akibat penggunaan produk yang tidak sesuai standar. Namun, dalam kasus gagal ginjal akut akibat konsumsi obat sirup anak, pemberian ganti rugi bersifat reaktif dan individual, tidak menyentuh akar persoalan sistem pengawasan distribusi obat. BPOM seharusnya menerapkan mekanisme strict liability kelembagaan untuk memastikan tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada produsen, tetapi juga pada pengawasan negara terhadap izin edar yang dikeluarkannya.[4]
Dari aspek pidana, Pasal 435 UU No. 17 Tahun 2023 telah mengatur sanksi berat berupa pidana penjara hingga 12 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar bagi pihak yang memproduksi atau mengedarkan obat tidak memenuhi standar keamanan dan mutu. Penerapan ketentuan ini menegaskan komitmen negara terhadap perlindungan kesehatan publik. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada koordinasi antar-instansi, terutama antara BPOM, Kementerian Kesehatan, dan aparat penegak hukum. Dalam praktik, proses penyidikan dan pembuktian unsur “tidak memenuhi standar” seringkali terhambat karena keterbatasan sumber daya laboratorium dan lemahnya dokumentasi rantai distribusi obat.[5] Hal ini menyebabkan sanksi pidana belum memberikan efek jera secara menyeluruh terhadap industri farmasi pelanggar.
Kemudian, efektivitas sanksi administratif yang menjadi domain utama BPOM juga belum optimal. Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin edar atau izin usaha. Namun, dalam praktiknya, tindakan administratif BPOM sering kali baru dilakukan setelah terjadi korban, bukan sebagai langkah preventif. Lemahnya budaya kepatuhan industri farmasi serta rendahnya kesadaran hukum pelaku usaha menjadi faktor utama yang mengurangi efektivitas sanksi administratif terhadap pelanggaran mutu obat.[6] Oleh karena itu, efektivitas sanksi BPOM hanya dapat dicapai apabila pengawasan dilakukan secara sistemik, berbasis risiko, dan didukung oleh konsistensi penegakan hukum lintas lembaga.
OPINI HUKUM
Berdasarkan hasil analisis hukum, dapat dikemukakan bahwa tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap peredaran obat sirup anak yang mengandung cemaran ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) harus dipahami dalam kerangka pertanggungjawaban administratif dan konstitusional negara dalam menjamin hak atas kesehatan masyarakat. Kewajiban negara ini bersumber dari Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, dan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.
Dalam konteks tersebut, BPOM merupakan perpanjangan tangan negara yang diberi mandat hukum melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terutama Pasal 304-312, untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat sebelum dan sesudah beredar. Ketentuan ini menegaskan prinsip bahwa pengawasan obat tidak boleh hanya bersifat administratif-formal, melainkan harus substantif dan berorientasi pada perlindungan kesehatan publik. Kegagalan BPOM dalam mendeteksi cemaran berbahaya pada obat sirup anak menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam mekanisme pengawasan pra-edar (pre-market control) dan pasca-edar (post-market control), yang berimplikasi langsung pada pelanggaran prinsip public accountability lembaga negara terhadap hak warga negara atas kesehatan yang aman.
Normatifnya, Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan mengatur tugas BPOM untuk melaksanakan kebijakan pengawasan, pengujian, pemberian izin edar, serta penyidikan terhadap pelanggaran di bidang obat dan makanan (Pasal 4 dan Pasal 5 huruf a-c). Dalam menjalankan fungsi tersebut, BPOM seharusnya berperan aktif sebagai lembaga law enforcement di bidang pengawasan farmasi, bukan hanya sebagai otoritas administratif. Namun, fakta bahwa penarikan (recall) obat sirup berbahaya dilakukan setelah ratusan anak menjadi korban memperlihatkan pengawasan yang bersifat reaktif, bukan preventif. Hal ini mencerminkan kegagalan dalam implementasi asas good governance dan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam penyelenggaraan pengawasan publik.
Ditinjau dari hukum administrasi kesehatan, tanggung jawab BPOM meliputi tiga dimensi utama: preventif, kuratif, dan represif. Pertama, tanggung jawab preventif diwujudkan melalui evaluasi dan pengawasan ketat terhadap izin edar, bahan baku impor, serta pengujian laboratorium pra-produksi. Kedua, tanggung jawab kuratif mencakup tindakan korektif berupa penarikan produk (recall) dan pemberian informasi resiko kepada masyarakat. Ketiga, tanggung jawab represif dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi administratif, pidana, atau perdata terhadap pelaku pelanggaran yang membahayakan kesehatan publik. Berdasarkan Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Obat dan Pengawasan Obat, BPOM bersama Kementerian Kesehatan wajib melaksanakan pengawasan pasca-edar yang berkelanjutan untuk memastikan keamanan dan mutu obat di pasar.
Namun, dalam ranah implementasi, efektivitas sanksi BPOM masih terbatas. Meskipun Pasal 143 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 memberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin edar, tindakan tersebut kerap dilakukan setelah timbul korban. Hal ini menunjukkan lemahnya budaya kepatuhan industri farmasi dan kurangnya koordinasi lintas lembaga dalam sistem pengawasan obat nasional. Selain itu, sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 435 UU No. 17 Tahun 2023, yang mengancam produsen obat berbahaya dengan pidana penjara hingga 12 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar, belum sepenuhnya menimbulkan efek jera karena keterbatasan pembuktian unsur “tidak memenuhi standar keamanan dan mutu”. Lemahnya sistem uji bahan baku dan kurangnya sumber daya laboratorium menjadi penyebab utama rendahnya efektivitas penegakan hukum di sektor farmasi.[7]
Secara hukum dapat ditegaskan bahwa BPOM memikul tanggung jawab kelembagaan atas kelalaian dalam pengawasan peredaran obat sirup anak, baik secara administratif maupun etik. Dalam konteks state liability, kelalaian tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap kewajiban konstitusional negara dalam menjamin hak atas kesehatan publik.[8] Oleh karena itu, BPOM perlu memperkuat mekanisme akuntabilitas hukum dan reformasi sistem pengawasan obat melalui pendekatan risk-based regulation, digitalisasi proses perizinan dan distribusi, serta peningkatan kapasitas laboratorium pengawasan daerah.
KESIMPULAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara hukum memikul tanggung jawab kelembagaan atas kelalaian dalam pengawasan peredaran obat sirup anak yang mengandung cemaran ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG). Kegagalan ini mencerminkan lemahnya pelaksanaan fungsi pengawasan pra-edar (pre-market control) dan pasca-edar (post-market control), yang merupakan mandat konstitusional dan administratif berdasarkan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 serta Pasal 304-312 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. BPOM, sebagai perpanjangan tangan negara, tidak hanya berkewajiban memastikan keamanan, khasiat, dan mutu obat, tetapi juga bertanggung jawab menjaga hak konstitusional masyarakat atas kesehatan yang aman. Dengan demikian, kelalaian dalam fungsi pengawasan dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip public accountability dan asas good governance dalam administrasi publik.
Untuk itu, BPOM perlu memperkuat sistem pengawasan obat melalui penerapan regulasi berbasis risiko (risk-based regulation), peningkatan kapasitas laboratorium pengujian, serta digitalisasi perizinan dan distribusi obat guna memperkuat deteksi dini terhadap bahan berbahaya. Koordinasi lintas lembaga dengan Kementerian Kesehatan dan aparat penegak hukum harus diperkuat agar sanksi administratif, pidana, dan perdata dapat diterapkan secara konsisten dan efektif. Reformasi menyeluruh dalam mekanisme pengawasan dan penegakan hukum diperlukan untuk memastikan perlindungan kesehatan publik, mencegah terulangnya kasus serupa, serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap peran BPOM sebagai lembaga pengawas yang profesional, transparan, dan akuntabel.
REFERENSI
Budiarjo, Angeline Septhinia, Ayu Fatikhah, Khaifa Kalisha, Mezaluna Syifa Dhiya Putri, dan Putri Nabilla Ahmadi. “Menelusuri Pelanggaran Izin Edar oleh PT Afi Farma: Tinjauan Hukum dan Etika.” Wathan: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 2, no. 2 (Juni 2025): 196–215. https://doi.org/10.71153/wathan.v2i2.248.
Naurah, Gladdays, Yasmirah Mandasari Saragih, dan Septi Dwi Pratiwi. Perlindungan Hukum Pasien dari Tindakan Malpraktik Menurut Hukum Kesehatan di Indonesia. t.t.
Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma, Daffa. “Pertanggungjawaban Pidana atas Kegagalan Pengawasan Obat: Studi Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak di Indonesia Tahun 2022.” Jurnal Lex Renaissance 7, no. 4 (Oktober 2022): 691–709. https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss4.art2.
Pratama, Yogi, dan Hermansyah Hermansyah. “Implementasi Hukum Pidana Bagi Pengedar Obat dan Makanan Illegal Pada Tingkat Penyidikan di Wilayah Hukum Kalimantan Barat (Studi Kasus Balai Besar POM (BBPOM) di Pontianak).” JUNCTO: Jurnal Ilmiah Hukum 6, no. 2 (Desember 2024): 408–21. https://doi.org/10.31289/juncto.v6i2.4056.
Rahayu, Umi Septia, Rohmadtika Dita, dan Syafril Tahar. “Frame Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Berita Tentang Cemaran Obat Sirop dan Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak.” Jurnal ISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 20, no. 1 (Agustus 2023): 33–54. https://doi.org/10.36451/jisip.v20i1.9.
Tarigan, Arihta Esther, Ralang Hartati, Syafrida Syafrida, dan Erna Amalia. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Memproduksi Obat Sirup Cair Menimbulkan Gagal Ginjal Akut Pada Anak.” Jurnal Surya Kencana Dua : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 9, no. 2 (Desember 2022): 155. https://doi.org/10.32493/SKD.v9i2.y2022.26204.
Wirasto, Ari, Indra Afrita, dan Silm Oktapani. Tanggung Jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan Terhadap Produksi Obat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. t.t.
[1] Arihta Esther Tarigan dkk., “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Memproduksi Obat Sirup Cair Menimbulkan Gagal Ginjal Akut Pada Anak,” Jurnal Surya Kencana Dua : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 9, no. 2 (Desember 2022): 155, https://doi.org/10.32493/SKD.v9i2.y2022.26204.
[2] Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma, “Pertanggungjawaban Pidana atas Kegagalan Pengawasan Obat: Studi Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak di Indonesia Tahun 2022,” Jurnal Lex Renaissance 7, no. 4 (Oktober 2022): 691–709, https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss4.art2.
[3] Umi Septia Rahayu, Rohmadtika Dita, dan Syafril Tahar, “Frame Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Berita Tentang Cemaran Obat Sirop dan Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak,” Jurnal ISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 20, no. 1 (Agustus 2023): 33–54, https://doi.org/10.36451/jisip.v20i1.9.
[4] Ari Wirasto, Indra Afrita, dan Silm Oktapani, Tanggung Jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan Terhadap Produksi Obat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, t.t.
[5] Yogi Pratama dan Hermansyah Hermansyah, “Implementasi Hukum Pidana Bagi Pengedar Obat dan Makanan Illegal Pada Tingkat Penyidikan di Wilayah Hukum Kalimantan Barat (Studi Kasus Balai Besar POM (BBPOM) di Pontianak),” JUNCTO: Jurnal Ilmiah Hukum 6, no. 2 (Desember 2024): 408–21, https://doi.org/10.31289/juncto.v6i2.4056.
[6] Angeline Septhinia Budiarjo dkk., “Menelusuri Pelanggaran Izin Edar oleh PT Afi Farma: Tinjauan Hukum dan Etika,” Wathan: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 2, no. 2 (Juni 2025): 196–215, https://doi.org/10.71153/wathan.v2i2.248.
[7] Tarigan dkk., “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Memproduksi Obat Sirup Cair Menimbulkan Gagal Ginjal Akut Pada Anak.”
[8] Gladdays Naurah, Yasmirah Mandasari Saragih, dan Septi Dwi Pratiwi, Perlindungan Hukum Pasien dari Tindakan Malpraktik Menurut Hukum Kesehatan di Indonesia, t.t.