PROSEDUR PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN OLEH BPOM SERTA TATA CARA PENYALURAN OBAT KE MASYARAKAT
Artikel ini membahas peran dan tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam menjamin keamanan, mutu, dan kemanfaatan obat serta makanan yang beredar di Indonesia. Artikel ini menjelaskan bahwa pengawasan BPOM dilakukan melalui dua tahapan utama, yaitu pengawasan pra-edar (pre-market) untuk memastikan produk aman sebelum diedarkan, dan pengawasan pasca-edar (post-market) untuk memantau produk yang sudah beredar di masyarakat. Selain itu, artikel ini juga menyoroti berbagai kendala yang dihadapi BPOM, seperti maraknya peredaran obat ilegal secara daring, keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, serta lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa meskipun BPOM telah memiliki dasar hukum yang kuat, efektivitas pengawasannya perlu ditingkatkan melalui penguatan kelembagaan, modernisasi pengawasan digital, dan kolaborasi dengan masyarakat agar sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia dapat berjalan lebih efektif dan adil.

LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan salah satu unsur fundamental dalam kehidupan manusia yang dijamin sebagai hak asasi dalam sistem hukum nasional Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial, yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian, kesehatan tidak hanya dimaknai sebagai ketiadaan penyakit, melainkan juga sebagai prasyarat tercapainya kesejahteraan sebagaimana cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks tersebut, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat menjadi kewajiban negara, termasuk di dalamnya menjamin keamanan, mutu, dan kemanfaatan obat serta makanan yang beredar di masyarakat.
Permasalahan mengenai kesehatan publik dewasa ini tidak hanya terbatas pada isu pelayanan kesehatan atau akses terhadap obat, tetapi juga mencakup aspek keamanan pangan dan sediaan farmasi yang beredar di pasaran. Di berbagai daerah, masih sering ditemukan praktik peredaran obat dan makanan tanpa izin edar atau menggunakan izin palsu yang dilakukan oleh individu maupun kelompok pelaku usaha. Kasus-kasus seperti ini tidak hanya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat sebagai konsumen. Peredaran produk ilegal melalui transaksi daring tanpa jaminan keaslian menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi konsumen, khususnya dalam bentuk gangguan kesehatan akibat penggunaan produk yang tidak sesuai dengan standar keamanan atau kebutuhan tubuh.[1]
Peredaran obat dan makanan ilegal pada dasarnya merupakan bentuk kejahatan yang merugikan masyarakat luas, baik secara ekonomi maupun dalam aspek kesehatan publik. Konsumen yang mengonsumsi obat atau makanan tanpa izin edar resmi berisiko mengalami efek samping serius yang dapat mengancam keselamatan jiwa. BPOM mencatat bahwa sepanjang tahun 2025, masih banyak ditemukan produk obat bahan alam (OBA) dan suplemen kesehatan yang mengandung bahan kimia obat (BKO) berbahaya, serta ribuan tautan daring yang memasarkan produk tanpa izin edar.[2] Fenomena ini menunjukkan lemahnya kesadaran hukum pelaku usaha serta belum optimalnya sistem pengawasan di lapangan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki mandat strategis untuk memastikan bahwa setiap produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia telah memenuhi standar keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Lembaga ini merupakan instansi pemerintah non-kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan. Kedudukan dan tugas BPOM diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang menyebutkan bahwa BPOM berwenang melaksanakan pengawasan pre-market dan post-market terhadap obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, serta pangan olahan. Sebagai komparasi, fungsi BPOM dalam konteks perlindungan masyarakat sejalan dengan peran Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, yakni sebagai otoritas sentral yang memastikan keamanan produk sebelum dan setelah diedarkan.[3]
Pengawasan obat dan makanan oleh BPOM dilaksanakan secara komprehensif dan berjenjang, mencakup tahapan pra-edar (pre-market) hingga pasca-edar (post-market). Pada tahap pra-edar, BPOM melakukan evaluasi, pengujian, serta penerbitan izin edar untuk memastikan bahwa produk memenuhi standar keamanan dan kualitas. Sementara pada tahap pasca-edar, dilakukan pemantauan, inspeksi, pengujian laboratorium, hingga penindakan administratif maupun pidana terhadap pelanggaran. Langkah ini merupakan bentuk perlindungan hukum preventif dan represif bagi masyarakat terhadap risiko konsumsi obat atau makanan berbahaya. Pengawasan BPOM memiliki peran krusial dalam menekan peredaran obat palsu di Indonesia dan menjamin bahwa produk yang beredar memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.[4]
Namun, efektivitas pelaksanaan pengawasan BPOM masih menghadapi sejumlah tantangan. Keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur pengawasan, terutama di daerah terpencil, menjadi kendala utama dalam menjangkau seluruh rantai distribusi. Selain itu, meningkatnya perdagangan daring menambah kompleksitas pengawasan karena banyak produk yang dipasarkan melalui platform digital tanpa izin resmi. Di sisi lain, masih terdapat pelaku usaha yang tidak patuh terhadap regulasi Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2020 tentang CDOB, yang mengharuskan setiap pihak dalam rantai distribusi menjaga mutu dan keamanan obat dari produsen hingga ke tangan konsumen.
Kelemahan sistemik tersebut menunjukkan perlunya pendekatan hukum yang lebih kuat dan kolaboratif dalam sistem pengawasan obat dan makanan. BPOM perlu memperkuat sinergi dengan aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan instansi teknis lain untuk mengatasi peredaran produk ilegal serta memperluas jangkauan pengawasan berbasis risiko. Selain itu, edukasi publik perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya membeli produk berizin edar resmi dan berperan aktif dalam pengawasan.
Dengan demikian, pembahasan mengenai prosedur pengawasan oleh BPOM dan tata cara penyaluran obat ke masyarakat menjadi sangat penting untuk menilai efektivitas sistem hukum dan kelembagaan yang berlaku dalam menjamin perlindungan konsumen. Kajian ini tidak hanya bertujuan untuk menegaskan kembali tanggung jawab negara dalam menjamin keamanan obat dan makanan, tetapi juga untuk merumuskan rekomendasi kebijakan hukum agar mekanisme pengawasan dan distribusi obat di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, transparan, dan berkeadilan.
ANALISIS HUKUM
Identifikasi Dasar Hukum
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pasal 28H ayat (1): Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
- Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
- Pasal 1 ayat (1): Kesehatan adalah hak asasi manusia.
- Pasal 263: Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan pemerataan obat.
- Pasal 464-466: Mengatur pengawasan obat, bahan obat, dan makanan oleh pemerintah dan BPOM.
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
- Pasal 86 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab atas pengawasan keamanan dan mutu pangan.
- Pasal 108 ayat (3): Pengawasan pangan olahan dilaksanakan oleh BPOM.
- Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
- Pasal 2-3: Menetapkan tugas dan fungsi BPOM dalam pengawasan pra-edar dan pasca-edar.
- Pasal 4: BPOM bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan.
- Peraturan Badan POM Nomor 6 Tahun 2020 tentang Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
- Pasal 2-3: Mengatur standar distribusi obat untuk menjaga mutu, keamanan, dan efektivitas obat hingga ke konsumen.
- Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014
- Pasal 11-12: Mengatur izin dan pengawasan distribusi bahan berbahaya yang berkaitan dengan pengawasan BPOM.
Prosedur Pengawasan Obat dan Makanan oleh BPOM di Indonesia
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang memiliki mandat konstitusional untuk menyelenggarakan pengawasan terhadap obat, bahan obat, makanan, kosmetik, suplemen kesehatan, dan produk sejenis, guna menjamin keamanan, mutu, serta kemanfaatannya bagi masyarakat. Kewenangan ini bersumber dari Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menegaskan hak setiap warga negara atas pelayanan kesehatan dan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang aman dan bermutu. Dalam konteks hukum sektoral, kewenangan BPOM ditegaskan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang secara eksplisit menetapkan tugas BPOM untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, serta menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pra-edar dan pasca-edar.
Secara yuridis, dasar pelaksanaan pengawasan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menempatkan keamanan obat dan makanan sebagai bagian integral dari perlindungan hak atas kesehatan. Pasal 263 dan Pasal 464 undang-undang tersebut menegaskan kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan obat yang aman dan bermutu serta melakukan pengawasan terhadap sediaan farmasi dan pangan olahan. Ketentuan serupa juga tercermin dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, khususnya Pasal 86 dan Pasal 108 ayat (3), yang memberikan kewenangan kepada BPOM untuk melakukan pengawasan terhadap pangan olahan agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Dalam implementasinya, pengawasan BPOM dilaksanakan melalui dua tahapan utama, yaitu pengawasan sebelum beredar (pre-market control) dan pengawasan selama beredar (post-market control).
- Pengawasan Pra-Edar (Pre-Market)
Tahap ini bersifat preventif dan bertujuan memastikan bahwa setiap produk obat, makanan, kosmetik, atau suplemen kesehatan yang akan diedarkan telah memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. BPOM melakukan evaluasi dokumen registrasi, uji laboratorium, serta pemeriksaan sarana produksi sebelum menerbitkan izin edar (nomor registrasi BPOM). Mekanisme ini merupakan bentuk perlindungan hukum preventif terhadap masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 465 UU No. 17 Tahun 2023, yang menyebutkan bahwa setiap produk kesehatan wajib memiliki izin edar sebelum dipasarkan.
- Pengawasan Pasca-Edar (Post-Market)
Setelah izin edar diberikan, BPOM melakukan pemantauan berkala terhadap produk yang telah beredar di pasaran. Pengawasan ini mencakup inspeksi rutin dan mendadak, pengujian laboratorium secara acak, serta pemantauan iklan dan label produk. Apabila ditemukan pelanggaran terhadap standar mutu atau keamanan, BPOM berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif seperti penarikan produk dari peredaran, penghentian sementara kegiatan produksi atau distribusi, hingga pencabutan izin edar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf (g) Perpres No. 80 Tahun 2017. Kewenangan tersebut merupakan bentuk penerapan prinsip government control dalam hukum administrasi yang bertujuan melindungi masyarakat dari risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh produk ilegal atau berbahaya.
Selain melakukan pengawasan langsung, BPOM juga menyelenggarakan koordinasi lintas instansi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan aparat penegak hukum dalam penegakan peraturan peredaran obat dan makanan. Koordinasi ini diperlukan untuk mengatasi pelanggaran yang bersifat lintas sektor, seperti penggunaan bahan berbahaya dalam produk pangan atau penjualan obat tanpa izin melalui platform digital. Dalam konteks pengawasan bahan berbahaya, BPOM berpedoman pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014, yang mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki izin distribusi bahan berbahaya dan memenuhi standar keamanan lingkungan dan kesehatan.
Sebagai bagian dari pengawasan distribusi obat, BPOM juga menetapkan standar Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) melalui Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2020. Regulasi ini menegaskan bahwa setiap pelaku usaha wajib menjaga mutu obat sepanjang rantai distribusi – mulai dari produsen, pedagang besar farmasi, hingga apotek dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pasal 2 dan Pasal 3 peraturan tersebut mengatur bahwa obat harus disimpan dan diangkut sesuai standar suhu dan kelembapan, serta disertai dokumentasi yang menjamin keutuhan produk hingga sampai ke tangan konsumen. Penerapan CDOB merupakan manifestasi dari prinsip Good Distribution Practices (GDP) yang diakui secara internasional, sekaligus bentuk tanggung jawab hukum pelaku usaha dalam menjaga keamanan produk farmasi.[5]
Selain fungsi pengawasan, BPOM juga melaksanakan fungsi pembinaan dan edukasi publik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 huruf (f) Perpres No. 80 Tahun 2017, yang menugaskan BPOM untuk memberikan bimbingan teknis dan sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku usaha. Upaya ini diwujudkan melalui kampanye nasional seperti Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) yang bertujuan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap produk yang dikonsumsi.[6] Pendekatan edukatif ini menjadi elemen penting dalam membangun pengawasan berbasis partisipasi publik dan memperkuat efektivitas hukum dalam pengendalian peredaran obat dan makanan.
Dari sisi hukum administrasi, seluruh mekanisme pengawasan BPOM berlandaskan pada prinsip legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan demikian, setiap tindakan pengawasan, pembinaan, maupun penegakan hukum harus didasarkan pada peraturan yang sah dan proporsional terhadap tingkat pelanggaran. Hal ini menegaskan bahwa kewenangan BPOM bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga yuridis, karena bertujuan melindungi hak masyarakat atas produk yang aman, serta menegakkan kepastian hukum dalam sistem kesehatan nasional.
Kendala BPOM dalam Pengawasan dan Penyaluran Obat dan Makanan ke Masyarakat
Fungsi pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 memiliki posisi vital sebagai perwujudan kewajiban negara dalam menjamin hak masyarakat atas kesehatan yang aman dan bermutu. Namun, dalam praktik, pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut menghadapi berbagai kendala struktural, teknis, dan sosial yang berimplikasi terhadap efektivitas penegakan hukum dan perlindungan konsumen.
Salah satu kendala utama adalah maraknya peredaran obat dan makanan ilegal tanpa izin edar, khususnya melalui platform digital yang sulit diawasi. Berdasarkan data BPOM, sepanjang Januari hingga Maret 2025, ditemukan 39.642 tautan daring yang mempromosikan obat, kosmetik, dan pangan olahan ilegal tanpa izin edar resmi.[7] Peredaran daring ini menimbulkan tantangan baru bagi penegakan hukum karena tidak semua pelaku usaha memiliki alamat fisik yang jelas, sementara ketentuan hukum positif seperti Pasal 465 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mewajibkan setiap produk obat dan makanan memperoleh izin edar sebelum dipasarkan. Lemahnya pengawasan digital menunjukkan perlunya modernisasi pendekatan hukum melalui integrasi cyber surveillance dan kerja sama lintas lembaga antara BPOM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta aparat penegak hukum.
Dari sisi sumber daya, keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur pengawasan, terutama di wilayah terpencil menjadi sebuah hambatan. Berdasarkan Laporan Kinerja BPOM 2024, jumlah tenaga pengawas di daerah masih belum sebanding dengan luas wilayah pengawasan dan kompleksitas produk yang beredar, sehingga pemerataan pengawasan belum optimal (BPOM, 2024).[8] Padahal, Pasal 3 huruf (f) dan (g) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 menegaskan bahwa BPOM bertanggung jawab memberikan bimbingan teknis serta melaksanakan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat dan makanan. Ketimpangan ini berdampak pada efektivitas pengawasan lapangan, terutama dalam memastikan bahwa produk yang beredar telah memenuhi standar keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
Kendala berikutnya adalah rendahnya kesadaran hukum dan pemahaman masyarakat serta pelaku usaha terhadap pentingnya legalitas produk obat dan makanan. Banyak produsen skala rumah tangga yang masih menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya tanpa izin, antara lain boraks, formalin, dan rhodamin B. Laporan Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan bahan berbahaya pada pangan olahan belum sepenuhnya efektif, karena sebagian besar industri rumah tangga tidak terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun Dinas Kesehatan.[9] Padahal, Pasal 11 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014 secara tegas mensyaratkan bahwa pelaku usaha bahan berbahaya wajib memiliki sarana distribusi dan izin usaha (SIUP-B2) yang memenuhi syarat keamanan, keselamatan, dan kesehatan lingkungan.
Selain faktor regulatif dan sumber daya, kondisi geografis Indonesia yang luas dan kepulauan turut menjadi tantangan distribusi obat dan makanan yang aman. Dalam konteks penyaluran obat, prinsip Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2020 menuntut agar seluruh rantai distribusi menjaga mutu obat melalui penyimpanan, transportasi, dan dokumentasi yang sesuai standar. Namun, keterbatasan infrastruktur transportasi, suhu penyimpanan yang tidak stabil, dan biaya logistik yang tinggi menyebabkan sebagian pelaku usaha kesulitan memenuhi standar tersebut, terutama di daerah dengan akses terbatas.
Dari aspek kebijakan publik, koordinasi antarinstansi yang belum optimal menjadi hambatan lain. BPOM perlu berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan pemerintah daerah dalam menjalankan pengawasan pra-edar dan pasca-edar. Namun, perbedaan prioritas kebijakan, dinamika regulasi, dan tumpang tindih kewenangan sering menghambat efektivitas pengawasan terpadu. Hal ini terlihat pada lambannya respons penarikan produk berisiko tinggi, serta tidak sinkronnya data perizinan antara pusat dan daerah. Penelitian Perdhana Ari Sudewo menyoroti bahwa koordinasi lintas sektor di bidang pengawasan obat dan makanan masih lemah karena belum adanya sistem informasi nasional yang terintegrasi antar lembaga.[10]
Kendala lain yang semakin krusial adalah penyalahgunaan antibiotik dan peningkatan Antimicrobial Resistance (AMR) akibat penggunaan obat yang tidak rasional. Hanya sekitar 23,93% kabupaten/kota di Indonesia yang melaksanakan penggunaan obat secara rasional, dan dari jumlah tersebut hanya 70% yang benar-benar mengimplementasikannya dengan baik.[11] Rendahnya pengawasan dan edukasi terhadap peresepan obat berpotensi memperparah resistensi antimikroba yang kini menjadi masalah global. BPOM bersama Kementerian Kesehatan perlu memperkuat peraturan dan pengawasan terhadap peredaran antibiotik tanpa resep serta memperluas kampanye smart use of antibiotics di masyarakat.
OPINI HUKUM DAN REKOMENDASI
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki kedudukan hukum yang kuat dan strategis dalam menjamin keamanan, mutu, dan kemanfaatan obat serta makanan yang beredar di Indonesia. Kewenangan tersebut bersumber dari Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, serta negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Secara sektoral, mandat BPOM diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 263 dan Pasal 464-466, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menempatkan BPOM sebagai otoritas pengawas utama terhadap keamanan dan mutu pangan olahan.
Dalam pelaksanaannya, Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan memperjelas fungsi BPOM dalam pengawasan pre-market dan post-market, termasuk penyusunan kebijakan nasional, penetapan norma dan standar, serta pelaksanaan penindakan hukum. Kewenangan ini diperkuat oleh Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2020 tentang Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), yang menetapkan standar distribusi untuk menjamin stabilitas dan efektivitas obat hingga sampai ke tangan konsumen. Dari sudut pandang hukum administrasi, pelaksanaan kewenangan BPOM mencerminkan prinsip government control dan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di mana setiap tindakan pengawasan dan sanksi harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah, proporsional, dan akuntabel.
Namun demikian, efektivitas pelaksanaan norma-norma tersebut masih menghadapi sejumlah kendala struktural, regulatif, dan sosial. Berdasarkan Laporan Kinerja BPOM Tahun 2024,[12] jumlah tenaga pengawas di daerah belum sebanding dengan luas wilayah dan banyaknya produk yang beredar, sehingga pengawasan belum merata, terutama di wilayah terpencil. Tantangan lain adalah maraknya peredaran obat dan makanan ilegal tanpa izin edar, terutama melalui platform digital. Data BPOM mencatat bahwa pada triwulan pertama tahun 2025 ditemukan lebih dari 39.000 tautan daring yang menjual produk ilegal tanpa izin edar. Kondisi ini menuntut modernisasi sistem pengawasan berbasis teknologi digital (cyber surveillance) serta penguatan koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan aparat penegak hukum.
Selain faktor struktural, rendahnya kesadaran hukum pelaku usaha dan masyarakat juga menjadi hambatan signifikan. Banyak produsen skala kecil dan rumah tangga yang masih menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya seperti formalin dan boraks, tanpa izin edar resmi. Padahal, Pasal 11 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014 secara tegas mewajibkan kepemilikan izin usaha distribusi bahan berbahaya (SIUP-B2) serta fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat keamanan, kesehatan, dan lingkungan. Kelemahan koordinasi antara BPOM, Dinas Kesehatan, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memperparah lemahnya penegakan hukum di tingkat daerah.
Dalam konteks pengawasan distribusi obat, implementasi CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) masih menghadapi kendala teknis berupa infrastruktur penyimpanan dan transportasi yang belum memenuhi standar, khususnya di wilayah dengan keterbatasan logistik. Keterbatasan ini mengancam stabilitas mutu obat dan menghambat penerapan prinsip Good Distribution Practices (GDP) secara penuh. Sejalan dengan itu, penyalahgunaan antibiotik dan meningkatnya resistensi antimikroba (AMR) menjadi isu strategis yang harus direspons secara serius. Berdasarkan penelitian Munira, hanya sekitar 23,93% kabupaten/kota yang melaksanakan program penggunaan obat secara rasional, dan dari jumlah itu, hanya 70% yang mengimplementasikannya dengan baik.[13] Situasi ini menegaskan perlunya pengawasan terpadu antara BPOM dan Kementerian Kesehatan dalam pengendalian penggunaan obat secara rasional dan pengawasan distribusi antibiotik tanpa resep.
Selanjutnya, dalam kerangka kebijakan publik, BPOM dihadapkan pada tuntutan untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan dan regulasi pengawasan obat dan makanan tidak hanya menjamin perlindungan konsumen, tetapi juga mendukung daya saing ekonomi nasional. Menurut BPOM (2020), kebijakan pengawasan obat dan makanan harus disusun secara proporsional agar tidak menambah beban ekonomi, melainkan mendorong efisiensi industri farmasi dan pangan nasional.
Dalam praktiknya, pengawasan pre-market dan post-market menjadi mekanisme utama untuk menjamin keamanan dan mutu produk. Pengawasan pre-market dilakukan melalui proses registrasi dan izin edar sesuai Pasal 465 UU No. 17 Tahun 2023, sementara pengawasan post-market dilakukan melalui inspeksi rutin dan pengujian laboratorium acak terhadap produk yang beredar. Berdasarkan Pasal 68 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 jo. Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun 2015, BPOM memiliki tugas melaksanakan pengawasan terhadap obat dan makanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, BPOM juga berwenang menarik produk berbahaya dari peredaran dan memberikan sanksi administratif hingga pidana terhadap pelanggar.
Upaya peningkatan efektivitas pengawasan tersebut perlu didukung dengan penguatan kelembagaan BPOM, baik melalui perluasan unit pelaksana teknis (UPT) hingga tingkat kabupaten/kota, maupun penambahan kewenangan bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM untuk melakukan tindakan penegakan hukum seperti penggeledahan dan penangkapan. Penguatan dasar hukum kelembagaan ini sejalan dengan teori Roscoe Pound tentang law as a tool of social engineering, di mana hukum berfungsi sebagai instrumen perubahan sosial untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.[14]
Selain pengawasan represif, BPOM juga menerapkan pendekatan edukatif dan preventif melalui penyuluhan, sosialisasi, dan pembinaan kepada produsen serta konsumen. Salah satu bentuk nyatanya adalah program nasional Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) yang bertujuan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap produk yang aman dan berizin. Di tingkat daerah, Balai Besar POM melakukan sosialisasi kepada produsen, mengawasi proses penjualan, dan mengambil sampel produk secara acak untuk diuji di laboratorium, sebagaimana dipraktikkan di Balai POM Jambi.[15]
Dari keseluruhan uraian tersebut, pendapat hukum yang dapat diberikan adalah bahwa secara normatif, BPOM telah memiliki instrumen hukum yang memadai untuk melaksanakan fungsi pengawasan obat dan makanan sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No. 17 Tahun 2023, namun secara empiris, efektivitasnya masih bergantung pada penguatan sistem kelembagaan, koordinasi lintas sektor, dan peningkatan kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan:
- Reformulasi kebijakan hukum yang memperkuat dasar kewenangan BPOM dalam pengawasan digital dan penindakan lintas sektor.
- Peningkatan kapasitas kelembagaan, termasuk penguatan UPT di daerah dan optimalisasi peran PPNS BPOM dalam penegakan hukum.
- Pendekatan hukum partisipatif, melalui edukasi publik dan pengawasan kolaboratif antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha.
KESIMPULAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki kedudukan hukum yang kuat dan strategis dalam menjamin keamanan, mutu, dan kemanfaatan obat serta makanan yang beredar di Indonesia. Kewenangan BPOM bersumber dari UUD 1945, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, serta peraturan sektoral lainnya, yang menegaskan tanggung jawab negara dalam melindungi hak masyarakat atas kesehatan. Dalam pelaksanaannya, pengawasan BPOM dilakukan melalui mekanisme pre-market dan post-market, didukung regulasi Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), serta koordinasi lintas sektor. Pendekatan ini mengombinasikan tindakan preventif, represif, dan edukatif untuk mencegah peredaran produk ilegal atau berbahaya, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap legalitas dan keamanan produk obat dan makanan.
Namun, efektivitas pengawasan BPOM masih menghadapi kendala struktural, teknis, dan sosial, seperti keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur pengawasan, maraknya peredaran daring ilegal, rendahnya kesadaran hukum pelaku usaha, serta tantangan geografis dan logistik distribusi obat di wilayah terpencil. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan reformulasi kebijakan hukum yang memperkuat kewenangan BPOM, penguatan kapasitas kelembagaan melalui optimalisasi UPT dan PPNS, serta pendekatan partisipatif melalui edukasi publik dan pengawasan kolaboratif. Dengan langkah-langkah sistemik tersebut, BPOM diharapkan mampu menjalankan fungsinya secara lebih efektif dan berkeadilan, memastikan setiap produk obat dan makanan yang beredar aman, bermutu, dan bermanfaat bagi masyarakat, sejalan dengan prinsip hak atas kesehatan dan perlindungan konsumen yang dijamin dalam sistem hukum nasional Indonesia.
REFERENSI
Al Alawi, Moh Nauval Karim. “Implementasi Teori Law as a Tools of Social Engineering Mahkamah Konstitusi sebagai Instrumen Kontrol Sosial dalam Sistem Hukum Indonesia.” Indonesian Journal of Law and Justice 2, no. 2 (Desember 2024). https://doi.org/10.47134/ijlj.v2i2.3393.
Badan POM RI. LAPORAN KINERJA BPOM TAHUN 2024. BPOM RI, t.t. https://www.pom.go.id/storage/sakip/Laporan%20Kinerja%20BPOM%20Tahun%202024.pdf.
Kurniawan, Ridha, Agung Antoro, Agus Irawan, M S Alfarisi, dan Orid Tatiana. Penegakan Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Terhadap Perdagangan Bahan Pangan Kadaluwarsa di Pasar Tradisional Kota Jambi. 3 (2025).
Launde, Agata Pransiska, Novie Revlie Pioh, dan Welly Waworundeng. TUGAS DAN FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM MELINDUNGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA MANADO (STUDI KASUS TENTANG PENGGUNAAN BAHAN MAKANAN BERBAHAYA DI KOTA MANADO). 4 (t.t.).
Lintogareng, Oke Juwita, Widya Astuti Lolo, dan Gerrald E Rundengan. IMPLEMENTATION OF GOOD DISTRIBUTION PRACTICES FOR PHARMACEUTICAL WHOLESALERS AT PT PARIT PADANG GLOBAL. 11 (2022).
Marisca Evalina Gondokesumo dan Nabbilah Amir. “Peran Pengawasan Pemerintah Dan Badan Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM) Dalam Peredaran Obat Palsu di Negara Indonesia (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Kepala Badan Pengurus Obat dan Makanan).” Perspektif Hukum, 17 November 2021, 91–107. https://doi.org/10.30649/ph.v21i2.16.
Putra, Setia. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI MELALUI E-COMMERCE.” Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (Agustus 2015): 197. https://doi.org/10.30652/jih.v4i2.2794.
Sudewo, Perdhana Ari. “Tantangan Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing, Ekonomi dan Bisnis di Indonesia: Sebuah Studi Analisis.” Eruditio : Indonesia Journal of Food and Drug Safety 1, no. 2 (November 2021): 1–14. https://doi.org/10.54384/eruditio.v1i2.79.
———. “Tantangan Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing, Ekonomi dan Bisnis di Indonesia: Sebuah Studi Analisis.” Eruditio : Indonesia Journal of Food and Drug Safety 1, no. 2 (November 2021): 1–14. https://doi.org/10.54384/eruditio.v1i2.79.
[1] Setia Putra, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI MELALUI E-COMMERCE,” Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (Agustus 2015): 197, https://doi.org/10.30652/jih.v4i2.2794.
[2] “TEMUAN HASIL PENINDAKAN PRODUK OBAT DAN MAKANAN ILEGAL MELALUI PERDAGANGAN ONLINE YANG BERISIKO TERHADAP KESEHATAN,” Badan POM, (Diakses pada 12 Oktober 2025, https://www.pom.go.id/siaran-pers/Temuan-Hasil-Penindakan-Produk-Obat-dan-Makanan-Ilegal-Melalui-Perdagangan-Online-yang-Berisiko-Terhadap-Kesehatan)
[3] Agata Pransiska Launde, Novie Revlie Pioh, dan Welly Waworundeng, TUGAS DAN FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM MELINDUNGI KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA MANADO (STUDI KASUS TENTANG PENGGUNAAN BAHAN MAKANAN BERBAHAYA DI KOTA MANADO), 4 (t.t.).
[4] Marisca Evalina Gondokesumo dan Nabbilah Amir, “Peran Pengawasan Pemerintah Dan Badan Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM) Dalam Peredaran Obat Palsu di Negara Indonesia (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Kepala Badan Pengurus Obat dan Makanan),” Perspektif Hukum, 17 November 2021, 91–107, https://doi.org/10.30649/ph.v21i2.16.
[5] Oke Juwita Lintogareng, Widya Astuti Lolo, dan Gerrald E Rundengan, IMPLEMENTATION OF GOOD DISTRIBUTION PRACTICES FOR PHARMACEUTICAL WHOLESALERS AT PT PARIT PADANG GLOBAL, 11 (2022).
[6] “CEK KLIK,” Badan POM, (Diakses pada 12 Oktober 2025, https://www.pom.go.id/katabpom/cek-klik)
[7] “BPOM UNGKAP 39.643 TAUTAN ILEGAL PRODUK OBAT DAN MAKANAN DI MEDIA DARING,” Direktorat siber Obat dan Makanan, (Diakses pada 12 Oktober 2025, https://siber.pom.go.id/berita/bpom-ungkap-39-642-tautan-ilegal-produk-obat-dan-makanan-di-media-daring?utm_source=chatgpt.com)
[8] Badan POM RI, LAPORAN KINERJA BPOM TAHUN 2024 (BPOM RI, t.t.), https://www.pom.go.id/storage/sakip/Laporan%20Kinerja%20BPOM%20Tahun%202024.pdf.
[9] Perdhana Ari Sudewo, “Tantangan Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing, Ekonomi dan Bisnis di Indonesia: Sebuah Studi Analisis,” Eruditio : Indonesia Journal of Food and Drug Safety 1, no. 2 (November 2021): 1–14, https://doi.org/10.54384/eruditio.v1i2.79.
[10] Perdhana Ari Sudewo, “Tantangan Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing, Ekonomi dan Bisnis di Indonesia: Sebuah Studi Analisis,” Eruditio : Indonesia Journal of Food and Drug Safety 1, no. 2 (November 2021): 1–14, https://doi.org/10.54384/eruditio.v1i2.79.
[11] Sudewo, “Tantangan Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing, Ekonomi dan Bisnis di Indonesia,” November 2021.
[12] “Laporan Kinerja BPOM Tahun 2024,” t.t.
[13] Sudewo, “Tantangan Kebijakan Pengawasan Obat dan Makanan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing, Ekonomi dan Bisnis di Indonesia,” November 2021.
[14] Moh Nauval Karim Al Alawi, “Implementasi Teori Law as a Tools of Social Engineering Mahkamah Konstitusi sebagai Instrumen Kontrol Sosial dalam Sistem Hukum Indonesia,” Indonesian Journal of Law and Justice 2, no. 2 (Desember 2024), https://doi.org/10.47134/ijlj.v2i2.3393.
[15] Ridha Kurniawan dkk., Penegakan Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Terhadap Perdagangan Bahan Pangan Kadaluwarsa di Pasar Tradisional Kota Jambi, 3 (2025).