Analisis Hukum Lingkungan terhadap Pencemaran Busa Hitam yang Menyerupai Awan di Wilayah Karawang

0

Fenomena busa hitam yang beterbangan menjadi sorotan publik. Bukan karena alam, melainkan limbah berbahaya dari kelalaian pabrik. Peristiwa ini memicu perhatian dan kekhawatiran masyarakat secara luas terhadap dampak yang ditimbulkan. Kasus ini menegaskan pentingnya penerapan hukum lingkungan secara tegas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

u232-FE0A2309-7A0E-4F78-8DBB-C56499D66D7F-1

Fenomena munculnya busa hitam di langit Subang, Jawa Barat pada akhir Oktober 2025 menjadi perbincangan di berbagai media. Banyak warga yang merekam dan mengunggahnya ke media sosial dengan menyebutkan “awan aneh” sebelum jatuh ke atap rumah dan persawahan. Sebagian masyarakat bahkan mengira peristiwa itu adalah fenomena alam langka, semacam awan hitam atau reaksi cuaca tertentu. Namun setelah dilakukan penelusuran oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa busa tersebut diduga kuat berasal dari kebakaran di fasilitas pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) milik PT Dame Alam Sejahtera yang berlokasi di Karawang. Temuan ini mengubah pandangan publik bahwa yang semula dikira peristiwa alam, ternyata merupakan bentuk nyata pencemaran udara akibat aktivitas industri.

Kejadian ini mengungkap dua persoalan penting. Pertama, lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Kedua, rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai ciri-ciri serta dampak pencemaran lingkungan. Dalam konteks hukum lingkungan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tegas melarang setiap orang atau korporasi melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Dalam kasus busa hitam ini, dugaan kelalaian dalam pengelolaan limbah B3 hingga terjadinya kebakaran dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kewajiban pencegahan pencemaran. Korporasi yang lalai dapat dimintai pertanggungjawaban administratif, perdata, bahkan pidana sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang berlaku untuk kasus limbah B3. Selain itu, limbah busa hitam yang diakibatkan kelalaian PT Dame Alam Sejahtera jatuh di kawasan sawah, sehingga berpotensi mencemari tanah dan sumber air pertanian. Hal ini dapat mengganggu kualitas hasil panen bahkan menurunkan produktivitas lahan akibat adanya kandungan bahan kimia berbahaya yang terserap oleh tanah. Busa-busa tersebut kemungkinan di dalamnya terdapat senyawa logam berat, zat asam maupun basa kuat, atau senyawa organik beracun dari hasil pembakaran yang apabila disentuh tanpa alat pelindung dapat menimbulkan gatal-gatal dan iritasi kulit. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat mengimbau masyarakat untuk tidak menyentuh busa hitam tersebut.

Fenomena tersebut sempat diterima secara wajar oleh sebagian masyarakat. Banyak warga tidak menyadari bahwa yang mereka lihat bukanlah fenomena alam, melainkan gejala pencemaran udara yang berpotensi berbahaya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis masyarakat masih sangat terbatas, dan pengetahuan hukum lingkungan belum menjadi bagian dari kesadaran kolektif. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat cenderung pasif dan tidak menuntut pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku pencemaran. Padahal Undang-Undang PPLH telah memberikan hak kepada warga untuk berperan dalam pengawasan lingkungan, termasuk hak untuk memperoleh informasi dan mengajukan gugatan jika terjadi pencemaran. Fenomena ini menunjukan timpang tindih antara masyarakat, korporasi, dan negara. Ketika masyarakat tidak peka terhadap tanda-tanda pencemaran, dan negara lambat menegakkan hukum, korporasi menjadi pihak yang paling diuntungkan. Dalam situasi demikian, hukum lingkungan kehilangan daya pencegahannya dan hanya berfungsi setelah kerusakan terjadi.

Kasus busa hitam di Karawang telah ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memiliki kewenangan terhadap perusahaan pengelola limbah B3. KLHK juga telah membentuk tim bersama Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Subang untuk melakukan penanganan lebih lanjut serta pemulihan lingkungan. Kasus tersebut seharusnya menjadi pelajaran untuk memperkuat peran hukum lingkungan sebagai instrumen perlindungan. Negara perlu memastikan bahwa pengawasan terhadap pengelolaan limbah B3 dilakukan secara ketat, terbuka, dan berkelanjutan. Di sisi lain, edukasi publik tentang pentingnya mengenali tanda-tanda pencemaran harus digencarkan.

 

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *