ANALISIS PERLINDUNGAN UNTUK MENJAGA ORISINALITAS ADAT DAN BUDAYA DALAM OBJEK WISATA SABA BADUY BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 2009

0
1000023610

Pariwisata merupakan sektor yang berkembang pesat di Indonesia, terutama dengan meningkatnya minat wisatawan terhadap destinasi berbasis budaya dan kearifan lokal. Menurut UU No. 10 Tahun 2009, Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sedangkan, Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

Dengan adanya perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi di berbagai negara di seluruh dunia, serta peningkatan jumlah orang dengan pendapatan yang lebih tinggi, kepariwisataan global cenderung meningkat secara konsisten setiap tahunnya.

Provinsi Banten dikenal mempunyai banyak sekali potensi kekayaan budaya yang bisa dijadikan objek wisata. Salah satunya yaitu suku Baduy. Suku ini merupakan suku yang hidup secara terisolasi dari dunia luar yang berada di pedalaman Banten, tepatnya di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Wisata kampung suku Baduy merupakan wisata alam yang menawarkan keindahan alamnya untuk dinikmati serta budaya tradisional yang bisa untuk dipelajari.

Masyarakat suku Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Suku Baduy Jero (Baduy Dalam), kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, dan kelompok Baduy Dangka tinggal di luar wilayah Desa Kanekes. Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Meskipun sama-sama suku Baduy namun suku Baduy luar dan suku Baduy dalam memiliki perbedaan yang cukup mencolok, yaitu dapat dilihat dari warna pakaian yang dikenakan serta aturan yang ditaati masyarakatnya. Suku Baduy luar terlihat biasa menggunakan pakaian berwarna hitam ataupun biru donker yang menandakan bahwa mereka sudah tidak suci. Masyarakat baduy luar pun sudah mengenal teknologi seperti alat elektronik berupa handphone, dan lain-lain. Sementara masyarakat suku baduy dalam biasanya menggunakan pakaian dengan dominan warna putih dan relatif menggunakan ikat kepala berwarna hitam.

2. PEMBAHASAN

Setelah diresmikan sebagai kawasan wisata oleh Pemerintah Kabupaten Lebak pada tahun 1992, suku Baduy semakin diminati oleh wisatawan. Pada awalnya, masyarakat suku Baduy tidak setuju dengan penetapan tersebut karena mereka percaya bahwa wilayah mereka dijadikan sebagai objek wisata tidak sesuai dengan aturan adat yang berlaku.

Meskipun berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat baduy maupun masyarakat setempat. Namun, setelah Baduy ditetapkan sebagai objek wisata, banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat suku Baduy. Hal ini diketahui melalui berbagai keluhan yang disampaikan oleh warga suku Baduy, terutama ketika para pengunjung sering melakukan pelanggaran terhadap adat setempat.

Keberadaan pemandu wisata yang berasal dari luar suku Baduy sering pula menjadi masalah, di mana banyak dari mereka yang kurang memahami dan menghayati aturan-aturan adat yang berlaku. Akibatnya, mereka sering kali tidak memberikan pengarahan yang memadai kepada para pengunjung agar tidak membuang sampah sembarangan serta bertindak dan berbicara secara sopan.

Selain itu, kedatangan wisatawan juga berdampak pada perilaku masyarakat suku Baduy, khususnya anak-anak dan remaja. Perubahan yang terlihat secara fisik adalah pada cara berpakaian mereka, di mana sebagian anak-anak dan remaja di Baduy Luar, khususnya kaum pria, mulai mengenakan kaos yang bukan merupakan busana khas suku Baduy.

Sehingga, dalam realitanya perlu ada peraturan hukum yang jelas mengenai regulasi terkait perlindungan lingkungan, hak-hak masyarakat adat, perlindungan terhadap ke-orisinalitas adat dan budaya yang ada.

• Dalam pasal 5 UU No. 10 Tahun 2009 tentang hukum kepariwisataan, kepariwisataan harus diselenggarakan dengan prinsip:

a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

e. memberdayakan masyarakat setempat;

f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;

g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, dilihat dari permasalahan yang sudah di uraikan di atas jelas pasal tersebut belum diterapkan sepenuhnya dalam wisata saba baduy ini. Sehingga berdasarkan UU tersebut, berikut upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga dan melindungi adat serta budaya di suku Baduy:

1. Membatasi jumlah kunjungan wisatawan di perkampungan Baduy. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pendaftaran melalu website atau aplikasi (yang dibuat oleh pemerintah setempat) terlebih dahulu sebelum wisatawan melakukan kunjungan ke kampung baduy sehingga jumlah orang yang masuk dan keluar dari wilayah tersebut terdata dan terkontrol dengan jelas.

2. Melibatkan masyarakat baduy untuk mengelola pariwisata di wilayah kampung mereka dengan berperan menjadi pemandu wisata dan penyedia homestay tempat wisatawan menginap, sehingga wisatawan dapat mempelajari suku baduy langsung dari masyarakat adatnya.

3. Mengubah objek wisata suku baduy menjadi cagar budaya

4. Melakukan edukasi dan sosialisasi secara singkat terlebih dahulu terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para wisatawan sebelum mereka memasuki wilayah objek wisata saba baduy.

3. PENUTUP

Meskipun pariwisata memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian, terutama di daerah seperti Banten dengan potensi budaya yang kaya, penetapan suku Baduy sebagai kawasan wisata tidak berjalan tanpa tantangan. Masyarakat Baduy awalnya menolak karena khawatir dengan pelanggaran adat yang mungkin terjadi, dan dampak negatif terhadap nilai-nilai tradisional mereka. Seiring waktu, meskipun terdapat manfaat ekonomi, keluhan muncul terkait pelanggaran adat yang dilakukan wisatawan serta kurangnya pemahaman pemandu wisata yang tidak berasal dari suku Baduy.

Wisatawan yang berkunjung ke kawasan Baduy sering kali melanggar norma dan aturan adat yang ada, seperti membuang sampah sembarangan dan berbicara tidak sopan. Bahkan, perubahan perilaku masyarakat Baduy, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja, mulai terlihat dalam bentuk perubahan gaya berpakaian yang tidak sesuai dengan adat mereka. Hal ini menandakan adanya perubahan sosial yang cukup signifikan yang disebabkan oleh interaksi dengan dunia luar. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan yang lebih jelas dan tegas terkait perlindungan terhadap budaya, lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat.

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk melindungi budaya dan adat suku Baduy. Langkah-langkah ini seperti membatasi jumlah wisatawan yang dapat mengunjungi suku Baduy, melibatkan masyarakat Baduy dalam pengelolaan pariwisata, serta mengubah suku Baduy menjadi cagar budaya. Selain itu, edukasi dan sosialisasi kepada wisatawan tentang aturan dan batasan yang berlaku juga sangat penting untuk menjaga keberlanjutan dan kelestarian adat serta budaya yang ada.

 

 

 

 

 

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *