Kekuasaan dan Kewenangan Pemerintah Harus Sesuai Hukum Positif dan Norma Lain yang Berlaku
Tulisan ini membahas tentang hubungan antara kekuasaan, kewenangan, hukum positif, dan norma-norma sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Maraknya demonstrasi dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah menunjukkan adanya krisis kepercayaan yang dipicu oleh kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat serta perilaku pejabat yang tidak sesuai dengan moral publik. Dalam konteks negara hukum, kekuasaan pemerintah tidak bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh hukum positif yang menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah. Namun, hukum positif saja tidak cukup; tindakan pemerintah juga harus selaras dengan norma moral, etika, agama, dan adat agar memperoleh legitimasi sosial. Tulisan ini menguraikan konsep kekuasaan dan kewenangan, asas legalitas, mekanisme atribusi, delegasi, dan mandat, serta implementasinya dalam sistem hukum Indonesia. Selain itu, dipaparkan pula problematika praktik penyelenggaraan pemerintahan yang menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan, lemahnya integritas, serta menurunnya kepercayaan publik. Sebagai refleksi, penulis menekankan pentingnya keseimbangan antara hukum positif dan norma sosial dalam setiap kebijakan pemerintah, penguatan asas legalitas, harmonisasi regulasi, pembangunan budaya integritas birokrasi, serta pengawasan partisipatif masyarakat. Dengan demikian, kekuasaan dan kewenangan pemerintah dapat dijalankan secara adil, demokratis, serta mendukung stabilitas pembangunan nasional.

Pendahuluan
Belakangan ini, Indonesia memasuki situasi yang sangat sulit diprediksi, salah satunya dibidang sosial dan politik, maraknya aksi demonstrasi di berbagai daerah yang berujung kekerasan ditambah aksi penjarahan yang dilakukan oleh beberapa oknum yang memanfaatkan situasi tersebut menambah ketegangan di masyarakat. Situasi seperti ini diawali dari tidak berpihakannya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang dianggap tidak pro terhadap masyarakat dan pembangunan serta adanya perilaku penyelenggara pemerintah yang melukai hati rakyat karena kesombongan dan gaya hidup yang tidak selaras dengan perkembangan masyarakat ditingkat bawah.
Salah satu yang dianggap menjadi pemantik maraknya demonstrasi adalah tindakan-tindakan penyelenggara negara tersebut dapat menimbulkan akibat hukum karena kekuasaan dan kewenangan yang mereka miliki sudah diatur secara eksplisit dalam tugas keseharian yang mereka jalankan. Tetapi, tindakan-tindakan tersebut seharusnya tunduk juga terhadap norma-norma lain yang ada dalam keseharian bangsa ini, sehingga tidak memunculkan gejolak serta ketegangan akibat reaksi masyarakat yang menganggap perbuatan tersebut tidak pantas dilakukan.
Kekuasaan dan kewenangan belakangan ini masuk kepada fenomena sosial-politik yang inheren dalam setiap bentuk organisasi masyarakat, terutama pemerintah dan negara. Di tangan pemerintah, kekuasaan dan kewenangan bukan sekadar instrumen teknis untuk menjalankan roda pemerintahan, melainkan juga sarana untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat. Namun, kekuasaan selalu mengandung potensi bahaya, ia bisa membawa manfaat besar bagi rakyat, tetapi juga dapat melahirkan penyalahgunaan, kesewenang-wenangan, dan tirani jika tidak dibatasi.
Di sinilah hukum hadir sebagai pagar pengaman. Dalam negara hukum, kekuasaan dan kewenangan pemerintah bukanlah kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan dan kewenangan yang bersumber dari hukum positif. Dengan kata lain, pemerintah hanya boleh bertindak sejauh hukum mengizinkannya. Tetapi hukum positif saja tidak cukup, pelaksanaannya perlu dilengkapi dengan norma-norma lain yang berlaku dalam masyarakat, baik norma moral, etika, agama, maupun adat kebiasaan agar tindakan pemerintah tidak hanya sah secara formal, tetapi juga adil dan dapat diterima secara sosial sebagai prilaku pemerintah yang relevan.
Tulisan ini akan mencoba menguraikan konsep kekuasaan dan kewenangan, hubungan antara hukum positif dan norma lain, relevansi asas legalitas, implementasi dalam sistem hukum Indonesia, serta opini penulis mengenai perlunya pemerintah menyeimbangkan hukum positif dengan norma sosial dalam setiap kebijakan dan tindakannya.
Pembahasan
Konsep Kekuasaan dan Kewenangan
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah contohnya, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintah sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintah dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan.[1]
Wewenang pemerintah dapat diperoleh melalui tiga cara: atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang asli dari undang-undang kepada organ pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari organ pemerintahan yang satu kepada organ lain. Mandat adalah pelimpahan kewenangan di mana tanggung jawab tetap berada pada pemberi mandat.
Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintah. Kewenangan pemerintah didapat dengan asas legalitas yang dimana prinsip negara hukum dan prinsip keabsahan pemerintahan dengan Aspek formal negatif dimana tindakan pemerintah sah jika tidak menyalahi peraturan perundangan, Aspek formal positif dimana kewenangan pemerintah hanya sepanjang diberikan atau berdasarkan Undang-Undang, serta Aspek materiil positif yaitu Undang-Undang memuat aturan yang mengikat tindakan pemerintah. Sumber kewenangan pemerintah bersumber dari peraturan per-Undang-Undangan, yang didapat melalui : [2]
- Atribusi: Pemberian wewenang baru kepada pemerintahan, diperoleh melalui ketentuan dalam peraturan per-Undang-Undangan (diberikan oleh legislator [MPR, DPR, DPRD] dan delegated legislator seperti Presiden)
- Delegasi: Pelimpahan suatu wewenang yang telah ada sebelumnya (wewenang atributif) oleh Badan atau Jabatan TUN kepada Badan atau Pejabat TUN lainnya. Dimana, pemberi wewenang terlepas dari tanggung jawab hukum atau tuntutan pihak ketiga. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi tetapi telah beralih kepada penerima delegasi.
- Mandat: terjadi saat organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Dalam hal ini, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.
Dengan demikian, perbedaan utama antara kekuasaan dan kewenangan terletak pada legitimasi hukumnya. Pemerintah tidak boleh hanya mengandalkan kekuasaan, melainkan harus menggunakan kewenangan yang jelas sumbernya.
Disamping itu, dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan kewenangan pemerintah harus disertai dengan pertanggungjawaban hukum. Terlepas dari bagaimana wewenang itu diperoleh dan apa isi dan sifat wewenang serta bagaimana mempertanggungjawabkan wewenang tersebut, yang pasti bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan, karena berdasarkan pada wewenang inilah pemerintah dapat melakukan berbagai tindakan hukum dibidang publik (publiekrechtshandeling).[3]
Hukum Positif sebagai Dasar Kekuasaan Pemerintah
Hukum positif adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara pada saat tertentu. Ia bersifat tertulis, mengikat, dan dapat dipaksakan oleh negara. Indonesia merupakan negara hukum dan gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaran urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat.[4]
Dalam suatu negara hukum (rechtsstaat), kekuasaan pemerintah tidak boleh dijalankan sewenang-wenang, melainkan harus berlandaskan hukum yang berlaku. Di Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya, seluruh kewenangan pemerintah bersumber dari hukum positif, bukan dari kekuasaan semata. Hukum positif menjadi dasar legitimasi, rambu, sekaligus batasan agar kekuasaan pemerintah tetap berada dalam koridor yang sah.
Hukum positif adalah fondasi utama dalam penggunaan kekuasaan oleh pemerintah. Ia memberikan legitimasi, batasan, serta mekanisme pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan pemerintahan.
Asas Legalitas dalam Hukum Positif
Secara etimologis, asas legalitas berasal dari kata legal yang berarti sah menurut hukum. Dalam literatur hukum pidana, asas legalitas sering dirumuskan dalam adagium Latin nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege (tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang, tidak ada pidana tanpa undang-undang). Akan tetapi, dalam konteks hukum administrasi negara dan hukum tata negara, asas legalitas memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu prinsip bahwa segala tindakan pemerintah harus mempunyai dasar hukum.
Asas legalitas merupakan prinsip fundamental dalam hukum administrasi yang menyatakan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Pemerintah tidak boleh bertindak tanpa dasar hukum yang jelas. Dengan asas ini, penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dan kepastian hukum bagi masyarakat terjamin.
Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Selain asas legalitas, asas lain yang penting adalah asas perlindungan hukum. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan tidak memihak dari negara.
Menurut Lunshof, asas legalitas tetap menjadi unsur utama dalam paham negara kesejahteraan. Asas legalitas adalah asas yang turut menjamin asas-asas lainnya. Meskipun asas legalitas tetap dipertahankan, namun delegasi kekuasaan pembentuk undang-undang kepada pemerintah adalah demi kepentingan penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Lunshof, ada unsur baru dalam negara hukum abad ke-20, yaitu adanya pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah, pemberian wewenang kepada pemerintah, dan perlindungan hukum terhadap yang berkuasa.[5]
Implementasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
Hubungan dengan Konsep Negara Hukum
Dalam negara hukum, asas legalitas menjadi syarat utama. Sebuah pemerintahan disebut sebagai rule of law apabila:
- Supermasi Hukum.
- Kekuasaan pemerintah dibatasi hukum (Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan).
- Kedaulatan Rakyat.
- Hak asasi manusia dilindungi hukum.
- Terdapat mekanisme peradilan yang independen untuk menguji legalitas tindakan pemerintah.
- Kesetaraan di depan hukum.
Indonesia, sebagai negara hukum, menempatkan asas legalitas sebagai prinsip fundamental. Hal ini tercermin dalam UUD 1945, peraturan perundang-undangan, dan praktik penyelenggaraan negara.
Norma Lain yang Berlaku: Moral, Etika, Agama, dan Adat
Hukum positif memang menjadi fondasi utama, tetapi ia tidak berdiri sendiri. Di tengah masyarakat, terdapat norma-norma lain yang juga mengikat dan memengaruhi legitimasi kekuasaan pemerintah. Seperti norma moral bersumber dari akal budi dan hati nurani manusia. Ia menuntut agar tindakan pemerintah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Norma etika, terutama etika publik, mengatur perilaku pejabat agar bertindak dengan integritas, transparansi, dan akuntabilitas.
Indonesia sebagai negara berketuhanan (Pasal 29 UUD 1945) menempatkan agama sebagai sumber nilai. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak hanya harus sesuai hukum positif, tetapi juga selaras dengan norma agama. Disisi lain masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki kearifan lokal dan hukum adat. Pemerintah perlu memperhatikan norma adat agar kebijakan tidak bertentangan dengan nilai lokal.
Dengan demikian, pemerintah yang hanya berpegang pada hukum positif tanpa memperhatikan norma lain berpotensi menimbulkan resistensi sosial. Oleh sebab itu, kekuasaan dan kewenangan harus selalu dijalankan dengan memperhatikan norma sosial sebagai pelengkap hukum positif.
Problematika dalam Praktik Pemerintahan
Situasi yang berkembang belakangan ini yang mempertontonkan adanya krisis moral dan etika segelintir penyelengara negara yang dapat dibilang merupakan bukti konkrit penyalahgunaan kekuasaan sehingga menyulut banyaknya aksi-aksi demonstrasi yang merugikan seluruh sendi kehidupan masyarakat. Dampak lain adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi akan sangat dipengaruhi situasi itu karena iklim yang tidak stabil akan menjauhkan investasi yang dalam tahap akhir membawa Indonesia ke resesi di bidang ekonomi.
Jauh daripada itu berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat menjadi tantangan lain kehidupan bernegara. Situasi demikian dapat menjadi kendala dalam proses pembangunan tanpa kepercayaan publik, kebijakan yang sebenarnya dirancang untuk kebaikan bersama pun akan sulit diterima, bahkan berpotensi ditolak.
Opini dan Refleksi
Menurut kami, pemerintah Indonesia perlu menegakkan prinsip bahwa kekuasaan dan kewenangan hanya sah bila memenuhi dua syarat: sesuai hukum positif dan sesuai norma-norma yang hidup pada perkembangan sosial masyarakat.
- Mengutamakan Hukum Positif. Pemerintah harus memastikan setiap tindakan memiliki dasar hukum yang jelas. Tidak boleh ada kebijakan tanpa legitimasi hukum. Ini penting untuk kepastian hukum dan perlindungan rakyat.
- Menjalankan Norma Moral, Etika, dan Agama. Legalitas formal saja tidak cukup. Pemerintah harus peka terhadap rasa keadilan, kepatutan, dan nilai agama masyarakat. Legitimasi sosial lahir dari kepatuhan pada norma-norma tersebut.
- Mengharmonisasi Regulasi. Pemerintah bersama DPR harus menyederhanakan dan mengharmonisasikan peraturan. Over-regulasi menimbulkan tumpang tindih dan celah penyalahgunaan.
- Membangun Budaya Integritas. Pemerintah harus membangun budaya hukum dan etika di kalangan birokrasi. Pendidikan integritas dan penegakan kode etik pejabat menjadi sangat penting.
- Pengawasan Partisipatif. Selain lembaga formal, masyarakat sipil, media, dan akademisi harus dilibatkan dalam mengawasi tindakan pemerintah. Ini akan memperkuat kepatuhan pemerintah pada hukum dan norma sosial.
Kesimpulan
Situasi yang berkembang saat ini meberikan contoh kepada kita bahwasanya kekuasaan dan kewenangan itu tidak tak terbatas dan kekuasaan pemerintah adalah amanah besar yang hanya sah jika dijalankan berdasarkan hukum positif dan norma lain yang berlaku. Hukum positif memberikan legitimasi formal, sedangkan norma moral, etika, agama, dan adat memberikan legitimasi sosial.
Jika pemerintah hanya mengandalkan hukum positif, kebijakan bisa sah tetapi kehilangan legitimasi sosial. Sebaliknya, jika hanya mengikuti norma sosial tanpa dasar hukum, tindakan pemerintah bisa dianggap ilegal. Oleh karena itu, keseimbangan antara hukum positif dan norma lain menjadi kunci bagi terciptanya pemerintahan yang adil, demokratis, dan berkeadilan sosial.
Dalam konteks Indonesia, penguatan asas legalitas, harmonisasi peraturan, penegakan etika publik, serta partisipasi masyarakat merupakan langkah strategis untuk memastikan kekuasaan dan kewenangan pemerintah benar-benar dijalankan sesuai hukum positif dan norma lain yang berlaku. Hal ini dibutuhkan agar terjadi stabilitas dalam proses pembangunan dan menjalankan roda pemerintahan.
Daftar Pustaka
Manan, Bagir. Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung,13 Mei 2000.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. 2011. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husen, La Ode. Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo, 2005. Bandung.
Peraturan Perundang-undangan :
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, TLN No. 5601.
[1] Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung,13 Mei 2000, hlm. 1-2.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, TLN No. 5601.
[3] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Rajawali Pers. 2019. Hal 109.
[4] Ibid. Hal. 94
[5] La Ode Husen, 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo, Bandung hlm. 55