PEMBATALAN PERATURAN GUBERNUR OLEH MENTERI DALAM NEGERI DAN PERATURAN BUPATI/WALIKOTA OLEH GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

0

Indonesia adalah negara kesatuan dalam bentuk Republik seperti dinyatakan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Negara kesatuan menganut prinsip bahwa urusan pemerintahan berada dalam satu kesatuan yang tidak dipisahkan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat memperoleh kedaulatan yang paling tinggi terhadap urusan negara secara keseluruhan tanpa memberikan suatu delegasi atau pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah (selanjutnya disingkat Pemda) (Huda, 2019). Meskipun Indonesia merupakan negara kesatuan, sistem pemerintahan saat ini memberikan banyak kebebasan kepada daerah untuk bertindak secara otonomi. Dengan mengutamakan pada demokrasi, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pemerataan keadilan, otonomi daerah kemudian dicapai melalui pembagian, pengaturan, serta pendayagunaan sumber daya di setiap daerah sekaligus perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (Asshiddiqie, 2021).

u366-WhatsApp-Image-2025-10-13-at-11.18.27-2

u366-WhatsApp-Image-2025-10-13-at-11.18.27-1

Opini

PEMBATALAN PERATURAN GUBERNUR OLEH MENTERI DALAM NEGERI DAN PERATURAN BUPATI/WALIKOTA OLEH GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

Oleh: Chefy Raynaldie

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

2025

 A.                PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kesatuan dalam bentuk Republik seperti dinyatakan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Negara kesatuan menganut prinsip bahwa urusan pemerintahan berada dalam satu kesatuan yang tidak dipisahkan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat memperoleh kedaulatan yang paling tinggi terhadap urusan negara secara keseluruhan tanpa memberikan suatu delegasi atau pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah (selanjutnya disingkat Pemda) (Huda, 2019). Meskipun Indonesia merupakan negara kesatuan, sistem pemerintahan saat ini memberikan banyak kebebasan kepada daerah untuk bertindak secara otonomi. Dengan mengutamakan pada demokrasi, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pemerataan keadilan, otonomi daerah kemudian dicapai melalui pembagian, pengaturan, serta pendayagunaan sumber daya di setiap daerah sekaligus perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (Asshiddiqie, 2021).

Tujuan adanya pembagian atau pelimpahan wewenang kepada daerah ini yakni dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat juga proses pembangunan di daerah. Melalui UU No. 23 Tahun 2014, akhirnya Pemda diberikan kewenangan untuk menjalankan otonomi mereka sendiri. UU ini dibentuk berdasarkan pada prinsip negara kesatuan, meski pada akhirnya Pemda dijalankan dengan tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Palullungan, 2023). Hal tersebut dapat dimaknai bahwa hubungan antara Pemda dan pemerintahan pusat harus diciptakan dengan harmonis guna memelihara iklim pemerintahan yang baik agar pembangunan yang ada di daerah terus berlanjut. Selanjutnya hubungan ini diejawantahkan ke dalam tiga macam asas Pemda: “asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan” (Budiman, 2021).

Pemda yang memiliki otonomi ini, berarti bahwa mereka dapat mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri, termasuk membentuk aturan hukumnya sendiri dengan cara membentuk peraturan daerah atau perda (Dewi dkk., 2020). Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945, bahwa perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan memiliki posisi strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas. Perda dan  peraturan-peraturan lain dibuat untuk menjamin bahwa pemerintahan dan pengaturan suatu wilayah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Perda sendiri juga merupakan satu di antara produk hukum yang menjadi komponen penting dari sistem hukum negara.

Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang merupakan Produk Pemerintah Daerah yaitu Peraturan Kepala Daerah atau biasa disebut Perkada. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 8 membunyikan Peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan yang sah dan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Secara teknis, tahapan dan prosedur pembentukan Perkada diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Pada level Provinsi, Perkada yang ditetapkan oleh Gubernur disebut dengan Peraturan Gubernur, sementara untuk Perkada yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota disebut dengan Peraturan Bupati /Walikota. Dari ketentuan tersebut di atas, pada prinsipnya Perkada dibentuk untuk melaksanakan perintah peraturan perundnag-undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka untuk melaksanakan kewenangan Kepala Daerah yaitu dalam penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pada praktiknya, Perkada juga dibuat untuk mengisi kekosongan hukum terutama untuk pengaturan halhal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di atasnya sepanjang masih dalam lingkup kewenangan Pemerintah Daerah.

Berbeda dengan Peraturan Daerah yang dalam proses pembentukannya harus disepakati bersama oleh Kepala Daerah dan DPRD, Perkada merupakan hak prerogatif Kepala Daerah sepenuhnya, dimana tidak memerlukan persetujuan Lembaga Legislatif. Namun dalam prosesnya tetap harus melalui tahapan-tahapan dan prosedur penyusunan Produk Hukum Daerah dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan sampai dengan penyebarluasan.

Dalam pelaksanaan pembentukan Perkada, ada aspek prosedur, substansi dan kewenangan yang harus terpenuhi. Dimana satu saja ada yang tidak sesuai maka Produk Hukum Daerah tersebut akan menjadi cacat dan dapat dibatalkan. Regulasi di negara kita masih mengakui proses pembatalan terhadap Perkada yang dilakukan oleh Lembaga Negara di atasnya. Peraturan Gubernur dapat dibatalkan oleh Menteri demikian juga Peraturan Bupati/ Walikota yang dapat dibatalkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Opini ini mengkaji berbagai aspek pembatalan Perkada mulai dari kewenangan, prosedur sampai dengan upaya hukum keberatan atas pembatalan Peraturan Kepala Daerah.

 

B.            KEWENANGAN

Kewenangan pembatalan Peraturan Bupati/ Walikota diatura dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan, Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesesusilaan dibatalkan oleh Menteri Dalam Negero serta Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Namun khusus untuk kewenangan Pembatalan Perda telah dihapus dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada 5 April 2017. Sehingga hanya tersisa kewenangan Pembatalan Peraturan Gubernur yang dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Bupati/Walikota yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemeritnah Pusat.

Secara teknis, kewenangan pembatalan Perkada diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Pasal 128 s.d. 140 Permendagri 120 Tahun 2018 mengatur prosedur pembatalan Peraturan Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri sementara prosedur pembatalan Peraturan Bupati/ Walikota diatur dalam Pasal 141 s.d 156.

 

C.           PROSEDUR PEMBATALAN PERATURAN GUBERNUR DAN PERATURAN BUPATI/ WALIKOTA

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 128 dan Pasal 141 Peraturan Menteri Dalam Negeri 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Daerah, Gubernur wajib menyampaikan Peraturan Gubernur kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan dan Bupati/Walikota wajib menyampaikan Peraturan Bupati/Walikota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan. Untuk melaksanakan pengkajian atas Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota tersebut, Menteri Dalam Negeri membentuk Tim Pengkajian Peraturan Gubernur yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur membentuk Tim Pengkajian Peraturan Bupati/Walikota yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Keanggotaan tim pengkajian ini terdiri atas komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan untuk Peraturan Gubernur dan lingkup Perangkat Daerah dan Instansi terkait sesuai dengan kebutuhan untuk Peraturan Bupati/Walikota. Tim pengkajian ini mempunyai tugas melakukan kajian terhadap Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara.

Dalam melakukan kajian, bisa jadi ada beberapa hal yang memerlukan pengetahuan teknis sehingga untuk mendukung pelaksanaan pengkajian oleh Tim, dalam prosesnya juga dapat melibatkan ahli/pakar dan/atau instansi terkait sesuai dengan kebutuhan. Ahli/pakar dan/atau instansi terkait tersebut mempunyai tugas:

  1. memberikan saran dan masukan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak peraturan gubernur atau peraturan Bupati/ Walikota diterima;
  2. bertanggungjawab bersama tim pengkajian terhadap keberatan yang diajukan oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota; dan
  3. tugas lainnya yang diperlukan.

Tentunya, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur tidak boleh gegabah dalam memutuskan pembatalan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota sehingga keberadaan Ahli/pakar dan/atau instansi terkait tersebut menjadi penting untuk didengarkan pendapat/ sarannya agar Keputusan yang dihasilkan secara formil dan materil memenuhi kaidah-kaidah pelaksanaan kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Produk Hukum Daerah sebagai wujud pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah harus memenuhi asas-asas Pemerintahan yang baik.

Dalam Pasal 132 ayat (1) dan 145 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Daerah disebutkan, Pembatalan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota dilakukan berdasarkan:

  1. usulan dari setiap orang, kelompok orang, pemerintah daerah, badan hukum, dan/atau instansi lainnya; dan/atau
  2. temuan dari tim pembatalan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/wali kota.

Usulan pembatalan tersebut, kemudian ditindaklanjuti oleh tim pengkajian dengan melakukan kajian sesuai dengan tolok ukur peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sesuai dengan hasil Fasilitasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan, diterbitkan surat Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri atau Sekretaris Gubernur atas nama Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota perihal pernyataan sesuai. Namun apabila hasil kajian dinyatakan tidak sesuai dengan hasil Fasilitasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan, ditetapkan Keptusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Peraturan Gubernur atau Keputusan Gubernur tentang Pembatalan Peraturan Bupati/Walikota.

Pasal 87 dan 88 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 mengatur tentang Pembinaan terhadap rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan di Provinsi menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri dan di  Kabupaten/kota menjadi kewenangan Gubernur. Pembinaan dilakukan dalam bentuk Fasilitasi terhadap rancangan Perda, Rancangan Perkada dan/atau Rancangan Peraturan DPRD. Fasilitasi ini bersifat wajib, dan menjadi salah satu syarat formal dalam penyusunan Perkada. Karenanya, salah satu yang dikaji oleh Tim Pengkajian yaitu apakah hasil fasilitasi telah dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/ Walikota saat menetapkan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota. Dalam hal berdasarkan hasil kajian ditemukan adanya ketidaksesuaian antara hasil fasilitasi dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/ Walikota tersebut, maka telah terpenuhilah syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (4) huruf a.

Bagaimana apabila suatu Perkada tidak melalui proses fasilitasi? maka syarat formal pembentukan produk hukum daerah tidak terpenuhi sehingga keberadaan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/ Walikota jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Sehingga, tanpa menyentuh substansi atau isi dari Peraturan tersebut, telah memenuhi syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (4) huruf b, yaitu bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Hierarki Peraturan perundang-undangan diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundangundangan. Dalam Pasal 7 disebutkan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya dijelaskan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundangundangan sesuai dengan hierarki tersebut di atas. Untuk Peraturan perundang-undangan yang selain itu, termasuk Peraturan Gubernur/Bupati/ Walikota, diatur dalam Pasal 8, sehingga juga terikat dengan azaz hukum Lex superior derogat legi inferior, dimana aturan yang lebih tinggi mengalahkan aturan yang lebih rendah. Dengan kata lain apabila ditemukan suatu Peraturan perundang-undangan yang jelas menabrak aturan di atasnya, maka ini dapat dikesampingkan bahkan dibatalkan.

Selanjutnya yang dapat menyebabkan suatu Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota dapat dibatalkan yaitu melanggar kepentingan umum. Secara spesifik makna dari kepentingan umum dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan, Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dapat dilihat bahwa kata kuncinya adalah untuk kemakmuran rakyat. Artinya apabila suatu Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota ternyata dalam penerapannya tidak memakmurkan rakyat, sebaliknya malah memberatkan atau menyengsarakan rakyat, maka telah terpenuhi syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (4) huruf b dimana suatu Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/ Walikota tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, menjelaskan pengertian “Bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang menyebabkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketentraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan gender. Tentunya untuk memutuskan hal ini diperlukan kajian yang mendalam dengan melibatkan stakeholder terkait. Tim juga harus mengkaji Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi karena yang harus diutamakan yaitu kepentingan bangsa dan negara untuk kemakmuran rakyat.

Alasan selanjutnya untuk membatalkan suatu Peraturan Bupati/ Walikota yaitu pelanggaran kesusilaan. Sejauh ini pelanggaran terhadap kesusilaan diatur dalam KUHP dan diketegorikan sebagai pidana kesusilaan. Rumusan pidana yang berkaitan dengan unsur melanggar kesusilaan diatur dalam Pasal 281, 282 dan 283 KUHP. Pasal 281 KUHP menyebutkan, diancam dengan pidana barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan dan barang siapa dengan sengaja di hadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan hendaknya atau melanggar kesusilaan. Namun terhadap pengertian pelanggaran kesusilaan sejauh ini belum ada regulasi yang secara spesifik menjelaskannya.

Karenanya, menurut penulis untuk menyatakan suatu Peraturan Bupati/walikota melanggar kesusilaan atau tidak akan jauh lebih sulit karena ukurannya masih belum jelas. Apalagi dalam penyusunannya wajib melalui proses fasilitasi sehingga seharusnya tidak ada pelanggaran kesusilaan yang dipayungi dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/ Walikota. Kalau hanya berdasarkan norma atau kebiasaan tentu ukurannya menjadi semakin bias karena setiap daerah mempunyai norma dan kebiasaan yang berbeda-beda. Belum tentu sesuatu yang dianggap melanggar kesusilaan di suatu tempat juga berlaku di tempat lainnya. Untuk itu, Berita Acara dan rekomendasi dari Tim Kajian yang menyatakan adanya pelanggaran kesusilaan dalam suatu Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/ Walikota menjadi sesuatu yang mutlak

 

D.           KEPUTUSAN PEMBATALAN

Tahapan selanjutnya setelah dibuat Berita Acara dan Rekomendasi pembatalan oleh Tim Kajian, yaitu penetapan pembatalan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Keputusan Gubernur. Hal ini diatur dalam Pasal 133 dan Pasal 146 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 dimana Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Peraturan Gubernur atau Keputusan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tentang Pembatalan Peraturan Bupati/Walikota ini, diharmonisasikan dan dicetak pada kertas bertanda khusus oleh Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri atau Biro Hukum Provinsi. Permohonan pengharmonisasian pembatalan dilakukan dengan menyampaikan:

  1. Surat permohonan harmonisasi;
  2. Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/ Walikota disertai softcopy dalam bentuk pdf; dan
  3. Rancangan Keputusna Menteri Dalam Negeri atau Keputusan Gubernur tentang pembatalan disertai softcopy.

Untuk pengharmonisasian Keputusan Gubernur tersebut, dibentuk Tim Harmonisasi Pembatalan terhadap Peraturan Gubernur pada Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri atau Peraturan Bupati/Walikota pada Biro Hukum Provinsi.. Tim ini diperlukan agar proses penetapan Keputusan ini dilaksanakan sesuai prosedur pembentukan Produk Hukum Daerah serta memenuhi aspek formalitas penetapannya.

Terhadap Peraturan Bupati/ Walikota yang dinyatakan telah memenuhi syarat pembatalan namun tidak dilakukan pembatalan oleh Gubernur maka kewenangan ini akan diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 147 Permendagri 80 Tahun 2015 menyatakan, Dalam hal Gubernur sebagai Wakil pemerintah pusat tidak membatalkan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, Menteri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membatalkan Peraturan Bupati/Walikota tersebut.

Sebelum membatalkan Peraturan Bupati/ Walikota, Menteri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah memberikan surat peringatan pertama kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat untuk membatalkan Peraturan Bupati/ Walikota, dilanjutkan dengan Surat Peringatan Kedua apabila tetap tidak dibatalkan oleh Gubernur. Surat Peringatan ini harus ditindaklanjuti oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat paling lama 15 (Lima Belas) hari sejak ditandatangani dengan memberikan jawaban kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah. Dalam hal Surat Peringatan Pertama dan Kedua tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Menteri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah membatalkan Peraturan Bupati/ Walikota dengan Keputusan Menteri yang bersifat final.

Dalam hal yang dibatalkan keseluruhan materi muatan peraturan Bupati/wali kota, paling lama 7 (tujuh) Hari setelah Keputusan Menteri Dalam Nenegeri dan Keputusan Gubernur tentang pembatalan diterima, Gubernur atau Bupati/ Walikota harus menghentikan pelaksanaan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya Gubernur atau Bupati/wali kota mencabut Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/ Walikota dimaksud. Apabila yang dibatalkan sebagian materi muatan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota, paling lama 7 (Tujuh) hari setelah Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Keputusan Gubernur tentang pembatalan diterima, Gubernur atau Bupati/wali kota harus menghentikan pelaksanaan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/BWalikota yang dibatalkan dengan mengeluarkan surat kepada perangkat daerah dan selanjutnya Gubernur atau Bupati/Walikota melaksanakan perubahan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud.

Penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang masih memberlakukan Peraturan Bupati/ Walikota yang dibatalkan oleh Gubernur sebagai Wakil pemerintah pusat dikenai sanksi berupa:

  1. sanksi administratif; dan/atau
  2. sanksi penundaan Evaluasi rancangan peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/wali kota.

Sanksi administratif terhadap Gubernur atau Bupati/wali kota berupa tidak dibayarkan hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan selama 3 (tiga) bulan.

 

E.            UPAYA HUKUM

Terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Keputusan Gubernur tentang Pembatalan tersebut, masih terbuka peluang untuk dilakukan upaya keberatan. Pasal 135 dan Pasal 152 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 berbunyi, Dalam hal Gubernur atau Bupati/Walikota tidak dapat menerima Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Keputusan Gubernur tentang pembatalan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 151 dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Presiden atau Menteri paling lama 14 (Empat Belas) Hari sejak Keputusan pembatalan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota diterima. Mekanisme keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 152 dilakukan dengan cara Gubernuratau Bupati/ Walikota mengajukan keberatan atas Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pembatalan Peraturan Gubernur kepada Presiden atau Keputusan Gubernur tentang pembatalan Peraturan Bupati/Walikota kepada Menteri disertai dengan alasan keberatan. Alasan keberatan dibuat melalui kajian dengan tolok ukur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Selanjutnya, dalam hal alasan keberatan tidak dikabulkan seluruhnya, Presiden menyatakan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Peraturan Gubernur dan Menteri menyatakan Keputusan Gubernur tentang Pembatalan Peraturan Bupati/ Walikota tetap berlaku. Sebaliknya, dalam hal alasan keberatan dikabulkan seluruhnya, Presiden membatalkan seluruh materi muatan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Peraturan Gubernur dan Menteri membatalkan seluruh materi muatan Keputusan Gubernur tentang pembatalan Peraturan Bupati/ Walikota sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apabila alasan keberatan dikabulkan sebagian, maka sebagian materi muatan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pembatalan Peraturan Gubernur atau Keputusan Gubernur tentang pembatalan Peraturan Bupati/ Walikota yang tidak dikabulkan tetap berlaku. Kewenangan pembatalan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pembinaan terhadap produk hukum daerah. Tentunya dalam melaksanakan kewenangan ini juga harus memperhatikan asas-asas Pemerintahan yang baik serta dilaksanakan sesuai prosedur agar tidak terjadi pelanggaran lebih lanjut.

 

F.            KESIMPULAN

Pembatalan Peraturan Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri atau Peraturan Bupati/Walikota oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat pada dasarnya tidak akan terjadi apabila dalam proses pembentukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adanya tahapan fasilitasi sebelum Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota di tetapkan dapat mencegah disharmonisasi peraturan yang menyebabkan peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota dapat dibatalkan.

 

 

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2021). Konstitusi dan Konstitualisme. Sinar Grafika.

Huda, N. (2019). Hukum Pemerintah Daerah. Nusa Media.

Budiman, M. A. (2021). Konsep Demokratis dalam Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Khatulistiwa Law Review, 2(1), 280-297. https://doi.org/10.24260/ klr.v2i1.298.

Dewi, I. A. D. P., Widiati, I. A. P., & Sukadana, I. K. (2020). Peranan Perancang Peraturan PerundangUndangan dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Analogi Hukum, 2(1), 109-113. https://doi. org/10.22225/ah.2.1.1620.109- 113.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan j.o. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah j.o. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan j.o. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah j.o. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *